Chapter 39

230 22 0
                                    

Seorang gadis tengah berbaring lemah tak berdaya, di atas kasur rumah sakit. Alat-alat medis dan kabel-kabel memenuhi ruangan.

Sementara di luar ruangan tersebut, terdengar gaduh saat salah seorang yang berpakaian medis keluar dari dalam ruangan.

"Gimana keadaan anak saya Dok?" tanya seseorang yang tengah memegangi tiang infusan.

Seseorang yang di panggil dokter itu menghela napas lirih, "keadaannya belum stabil. Tapi untungnya peluru yang di tembakan oleh pelaku tidak mengenai ulu hati pasien. Tapi untuk saat ini pasien belum sadarkan diri, akibat benturan di kepalanya. Dan bolehkah salah satu anggota keluarga ikut ke ruangan saya", jelas Dokter tersebut.

"Saya saja Dok" ujar Ridwan.

"Apa kita bisa liat keadaannya Dok?" tanya Mila.

"Untuk saat ini lebih baik jangan, tunggu sampai besok" jawabnya. "Baiklah, saya permisi dulu mari Pa ikut saya, dan jika ada apa-apa tolong panggil saya."

"Terima kasih Dok"

Setelah Dokter itu pergi, Ridwan hampir saja terhuyung ke depan jika saja Shawn tidak menahannya.

"Lebih baik Om istirahat. Biar Lisa kita jaga. Keadaan Om pun sedang tidak baik, dan biar saya yang pergi ke ruangan dokter" ucap Shawn.

Ridwan menggeleng, "saya mau menemani anak saya, dan biar saya yang pergi" lirihnya.

"Tapi bagaimana Om mau menemani Lisa, sementara keadaan Om sedang tidak stabil, Lisa pasti sedih liat keadaan Om" protes Jaemin.

Ridwan hanya menghela napas pasrah, mengnggukan kepalanya sebagai jawaban.

"Min anterin Om Ridwan ke kamarnya" titah Shawn. Jaemin mendengus sebal, karena Shawn memanggilnya dengan panggilan yang menggelikan. Sementara Shawn sudah berlalu pergi.

Saat sudah masuk ke dalam ruang sang Dokter Shawn langsung bertanya "Lisa kenapa Dok?"
Sang Doktet yang baru sana mendudukan bokongnya terlonjak kaget. "Lho, bukannya Pa Ridwan" ujarnya.

"Om Ridwan butuh istirahat Dok, saya Kakak nya."

Dokter itu hanya menganggukan kepalanya, "baiklah, langsung saja" sebelum melanjutkan kata-katanya, Dokter itu menghela napas berat. Seolah apa yang akan di katakannya ini menyangkut hidup dan mati. "Seperti yang sudah saya katakan tadi, benturan atau pukulan yang pasien alami cukup keras, yang berakibat fatal. Salab satunya, pasien mengalami kebutaan karena pukulan yang dia dapat tepat di matanya."

Bak di sambar petir siang bolong, Shawn terdiam kaku seolah pasokan oksigen di ruangan itu lenyap.

"D–Dokter bercanda kan?" tanyanya.

"Bunuh saya Nak, jika berani mempermainkan keadaan pasien saya" jawab sang Dokter.

"Apa dia bisa melihat lagi?"

"Tergantung" Dokter itu menghela napas, "jika ada pendonor, mungkin pasien dapat melihat lagi, tapi seperti yang anda tahu mencari seorang pendonor tidak mudah seperti kita membalikan telapak tangan"

Shawn mengacak rambutnya prustasi "tolong usahakan Dok" ujarnya lirih. "Baiklah Dok saya permisi."

Shawn berjalan lesu, dia tak bisa membayangkan kondisi Lisa saat ini. Lisa sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri. Dia terduduk di samping Mila yang langsung menoleh, hendak memberikan banyak pertanyaan pada kakaknya tapi di tahan oleh Nadia. Yang mengisyaratkan untuk diam, karena Nadia merasa Shawn sedang lelah, dan tak mau di tanya.

Mila menghembusakan napasnya kasar, kembali menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat duduk.

Tapi bukan Mila namanya jika dia terus diam. "Apa kata Dokter?" tanya Mila to the point.

LALISA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang