RF.11

31.8K 5K 338
                                    

©dotorijen
-

Taeyong menghabiskan waktu siangnya dengan melamun di teras depan, sampai tak sadar lembayung telah datang dan membawa rona jingga di Barat.

Taeyong menghela napas, apa hidup pernah adil? tidak. Dia membatin.

Hari ini bukan hari keberuntungan seperti apa yang ia harapkan kemarin malam sebelum tidur. Bertemu dengan seseorang yang pernah mengisi hatinya, singgah dan menetap dalam waktu yang lama. Namun tanpa peringatan, semesta memisahkan. Satu hari, didapatnya surat perpisahan, ditulis rapih dengan tinta hitam. Taeyong tersenyum separuh. Lelaki itu seperti berniat ingin pergi.

Kini rasa sakit yang mengendap timbul kembali, Taeyong hanya tak ingin itu larut dan membawanya pada waktu lampau. Maka yang dia lakukan adalah terus mengingat, bahwa ada seseorang yang sekarang siap memeluknya, menjaga senyum dan menghilangkan sakitnya.

"Sudah cukup melamunnya, ayo masuk."

Taeyong menoleh, melihat sosok tampan yang akhir-akhir ini lebih banyak dia pikirkan. Jaehyun tersenyum hangat seperti biasa, menyapa dengan lengkungan di kedua mata.

"Hey, sore." Taeyong meraih tangan Jaehyun yang tersimpan di pundak, menggenggam dan memainkan jemari panjangnya.

"Sore ya? Jangan sampai kau berkata 'selamat malam' di atas kursi ini juga." Jaehyun mencibir.

Si manis mengulum senyum, menunduk, memainkan jemari yang pucat di tangannya. Dia mengernyit.

"Kenapa tanganmu dingin sekali?" Taeyong menatap Jaehyun dengan kening berkerut.

Belum menjawab, pria itu bersimpuh di hadapan, balas menggenggam tangan si manis dengan satu tangan lainnya.

"Apa dadamu sakit?" alih-alih menjawab, Jaehyun balik bertanya. Masih mengulas senyum manis, menutupi nyeri yang merajam sejak tadi.

"Ah... Maaf."

Taeyong lupa, ia tidak bermaksud membuat Jaehyun sakit. Sebenarnya ia juga merasakan remasan itu di dada, namun masih bisa ia tahan. Taeyong hanya tak menyangka jika sakit yang Jaehyun terima bisa berkali lipat darinya.

Dengan pandangan lurus dan teduh, ditatapnya iris kelabu itu. Taeyong mengusap wajah tampannya dengan satu tangan, kemudian menggumam kata maaf.

"Lain kali, katakan jika itu sakit. Aku tidak mau membuat luka untukmu, Jaehyun."

Jaehyun tersenyum, membawa sosok manisnya ke dalam pelukan. "Tak apa. Aku baik-baik saja."

"Terima kasih."

Benar bukan, bersama Jaehyun bukan lagi sebuah pilihan. Namun sebuah jawaban.

***

"Maaf aku mengacaukan segalanya."

Jaehyun mengangkat kepalanya, menatap pemuda manis yang kini tengah duduk sambil menumpu dagunya pada lipatan tangan di meja pantry. Masih setia menunggunya selesai menyeduh kopi.

"Kau tidak melakukan kesalahan. Menjadi pendiam bukanlah Lee Taeyong yang kukenal."

Taeyong berdecih, perkataan Jaehyun selalu tepat. Menyebalkan.

"Tapi gara-gara itu, kontrakku batal, kau kesakitan dan kita gagal bertemu dengan anakmu."

Jaehyun mendekat dengan dua gelas cangkir porselen, di dalamnya terdapat cairan hitam pekat mengepul. Satu cangkir ia taruh ke atas meja, milik Taeyong.

"Bagaimana kalau besok kau ikut denganku ke klinik?" Jaehyun menawarkan dan Taeyong lekas mengangguk, setuju.

"Sekarang, tersenyum."

Taeyong sempat merengut sebelum kemudian alisnya terangkat dan akhirnya suka rela mengukir senyum. Jaehyun seperti berhasil mengangkat jiwanya yang terpuruk jatuh, menjadi lebih hidup dengan senyum dan perlakuan yang ia terima.

Sebelumnya, Taeyong tak pernah merasa diperlakukan seperti ini. Rasanya bagai berjalan di atas karpet merah dan disentuh bagai barang rapuh.

"Nah seperti itu." kata Jaehyun sembari mengusap surainya dengan lembut.

Taeyong menatap lekat iris kelabu yang entah bagaimana bisa terlihat seperti langit mendung. Perlahan senyumnya pudar, namun binar di matanya masih tetap. Dengan lirih, ia pun berucap.

"Jaehyun, cium aku."

-

To be continued...

Aku harap bab ini manisnya kerasa :'

Terima kasih sudah membaca.
Best regards,
—Jen

(✔) Rain FoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang