RF.33 - a

19.5K 3.1K 249
                                        

©dotorijen
-

Taeyong masih berdiri di pelataran rumah dengan baju berlapis tebal, syal merah melilit lehernya, sepasang sarung tangan serta jaket-jaket yang menghalau dingin terlebih di bagian perut membungkus tubuhnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Taeyong masih berdiri di pelataran rumah dengan baju berlapis tebal, syal merah melilit lehernya, sepasang sarung tangan serta jaket-jaket yang menghalau dingin terlebih di bagian perut membungkus tubuhnya. Sepasang kakinya yang memakai boots terkubur salju, lucu jika dilihat, ia seperti manusia salju yang baru selesai dibuat.

Taeyong tidak peduli meski diterpa dingin, ia tetap menunggu di luar. Mengamati sudut gelap di desa yang dihuni sebuah gubuk. Lampu kuningnya masih berpijar di kejauhan, satu-satunya pertanda adanya kehidupan di sana.

Bagaimanapun Taeyong tak bisa menghapus rasa cemas dan menghangatkan diri di dalam rumah tanpa memikirkan pria-nya sedang menyendiri di dalam kedinginan.

"Jaehyun, kau baik-baik saja?" gumamnya ditelan gemuruh angin, ia tahu ini mustahil namun tetap berharap Jaehyun dapat mendengarnya.

Pukul sembilan malam dan langit tampak lebih terang. Ia melihat bagaimana purnama muncul di balik arakan awan hitam seperti memberi peringatan bahwa malam ini adalah kuasanya. Bagaimana bulan tua itu menampak sempurna dan berseri menghadap bumi. Pemandangan yang jarang ia lihat di rumah asalnya.

Namun terang cahaya sang rembulan tak mengusik gelap pada gubuk di sebelah Barat.

"Salju sedang turun, cepat masuk ke rumah!" sahut seseorang di dekat pintu. Gertakan kecilnya membuat Taeyong kembali sadar pada kenyataan.

Namun ia tetap kukuh berdiri di tempat, tak menggubris orang yang masih merutuk di belakang sana meski beberapa waktu lalu Taeyong sendiri yang menghubungi Doyoung untuk datang.

Dokter muda itu masih belum mengetahui apapun tentang misteri yang tersimpan di desa. Tepatnya di bawah atap rumah yang sedang ia pijak. Apa yang dia tahu hanya sebatas Jaehyun yang pergi ke gubuk di sebelah Barat ladang dan tak kunjung pulang. Ia dibuat khawatir ketika baru saja tiba, Taeyong menyambutnya dengan tangisan.

Doyoung pikir sesuatu terjadi seperti pertengkaran rumah tangga, namun tampaknya lebih buruk dari itu.

"Aku benar-benar akan mematahkan tulang rusuk suamimu jika ia datang." si mata kelinci tetap merutuk geram, ia rasa hal itu cukup untuk membuatnya impas.

"Lakukan," Taeyong menarik napas, rasanya tercekat setiap kali ia bicara "kuharap kau bisa melakukannya."

Doyoung tak tahu apa yang begitu dikhawatirkan sahabatnya, Jaehyun tidak pergi ke tempat yang jauh, hanya ladang di dekat rumah mereka dan ia bisa menjaga diri di waktu malam tanpa tersesat atau dihadang penjahat kalaupun ada. Desa ini terlihat aman dari sisi mana pun.

Kecuali pria itu pergi bersama seseorang dan menetap di gubuk terlalu lama.

"Kau tidak mencoba menghubunginya?"

"Dia tidak membawa ponsel."

"Oh, bagus!"

Doyoung tidak buntu sampai di sana, ia mencari cara lain supaya Taeyong mau berhenti meratap dan melakukan sesuatu. Benar-benar tidak berguna jika hanya berdiri di tengah-tengah salju dan berharap.

"Aku akan menghubungi Taeil, aku akan pergi ke gubuk bersamanya untuk menjemput suamimu."

Doyoung segera merogoh ponsel di saku celana, ia tahu dengan ukuran jalan selebar itu mobilnya tidak akan tembus sampai ke ujung ladang, beberapa petak gandum juga masih belum dipanen, ia tak mau melindas semuanya dan melakukan ganti rugi.

"Tidak usah." pemuda di depannya berbalik, salju yang menimbun kakinya sudah cukup tebal tanda seberapa lama ia berdiri di sana.

"Perhatikan juga kandunganmu, kakimu tertimbun salju kau tahu? Masuk ke dalam atau aku pulang?" Doyoung menggertak sekali lagi.

Kali ini Taeyong mendengarnya, ia hampir tak sadar walau tangannya tak lepas mengusap si calon jabang bayi di dalam perut.

"Doyoung-ah," Taeyong memanggil, wajahnya tertunduk menatap benda yang ia genggam dengan kedua tangan.

Doyoung tidak tahu benda apa yang dipegang Taeyong sejak tadi, mungkin barang berharga miliknya bersama Jaehyun? Situasi tak seharusnya lebih buruk dari ini, kalau saja ia tetap tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Mereka masuk ke dalam rumah. Pintu ditutup rapat, tubuh mereka kini tak tersiksa oleh tamparan angin. Doyoung memastikan pemuda itu tak tertiup udara dingin sedikit pun sebelum mereka bicara.

"Ada apa?" Doyoung menemukan wajah itu masih tertunduk dan tangannya masih memutar perlahan benda kecil itu.

"Kau ingin mendengar sesuatu?" Taeyong mengangkat wajahnya, betapa kaku kulitnya ketika digerakkan. Jika berdiam diri lebih lama di luar, ia betul akan membeku.

Doyoung menatapnya penuh penasaran. "Apa itu?"

***

Doyoung menatap dua buah semangka yang tersimpan di atas meja. Ia tetap menyuruh Taeil untuk datang tapi tidak dengan buah semangkanya. Pria itu sekarang duduk di seberang dengan keadaan lebih tenang dari dirinya setelah mendengar cerita yang sama.

Cerita yang didengarnya menit lalu membuatnya ingin tertawa sekaligus mengerang sakit kepala. Mana ada makhluk semacam itu di dunia nyata? Doyoung tidak percaya.

"Kau tahu semua ini?" pertanyaan itu ia layangkan kepada Taeil dan pria pemilik toko buah itu hanya mengangguk santai.

"Tapi mana mungkin..."

Doyoung tetap ingin mengelak namun dengan bukti dan pernyataan serius dari keduanya membuat ia mau tak mau menelan rasa percaya.

"Baiklah, anggap saja seperti itu." Doyoung mengusap wajahnya bersamaan dengan tarikan napas penat, "Jadi yang dapat kita lakukan sekarang adalah menunggu. Jaehyun akan kembali besok, Taeil memberitahumu, begitu juga dengan nenek yang kau sebut tadi. Kau tahu itu tapi kau tetap keras kepala diam di luar?" ocehnya kesal walau tak ditanggapi orang di depannya.

Taeil melirik benda yang digenggam Taeyong, rasa terkejut sekaligus penasaran bercampur setelah sekian lama baru kali ini ia melihat Jaehyun melepas benda itu lagi.

"Kali ini Jaehyun melepas maniknya?" pria itu bertanya, raut wajah dan suaranya memberitahu hal itu buruk jika terjadi.

Taeyong telah mendengar semuanya dari si nenek, Jaehyun melepas maniknya karena perubahan kali ini akan terasa sangat menyakitkan. Ia sebenarnya bisa bertahan, namun dengan keadaan kali ini sangat tidak memungkinkan. Maniknya tinggal separuh, kejadian terakhir kali yang membuatnya melepas banyak energi, serta bulan purnama yang membuatnya berubah total.

Dalam purnama sebelumnya ia hanya mengeluarkan ekor, cukup mengurung diri di atap sampai kesembilan ekornya menghilang. Namun kali ini tidak demikian.

"Dia tak mau berbagi rasa sakitnya denganku..." Taeyong meremat kain hitam yang membungkus kotak kaca di tangannya. "Jaehyun merasakannya seorang diri... Ya Tuhan.." dengan itu Taeyong kembali menangis.

Entah sejak kapan Taeyong berani mengeluarkan air mata seperti ini di depan orang lain, Doyoung sendiri tak pernah melihatnya serapuh ini.

Suasana yang mulai tenang tiba-tiba dihanyutkan oleh gemuruh di luar, sesuatu yang lebih berat berjatuhan ke bumi.

"Jaehyun..."

-

To be continued...

Pertama, maaf kalau bab ini kacau. Sumpah aku nulisnya pas badan gak enakan, tapi ngebet pengen nulis.

Kedua, aku gak memberi izin siapapun buat ngambil plot, remake, atau apapun yang bersifat 'plagiat' baik di cerita ini atau ceritaku yang lain. Tolong ketuk DM dulu kalau mau ngambil sesuatu di sini.

Ketiga, kalau sempet, aku mau double update ^^~

Yang belum vote, vote dulu 🙂👍

Terima kasih sudah membaca.
—Jen

(✔) Rain FoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang