RF.31

17.4K 3.2K 216
                                    

©dotorijen
-

Vote atau kucium.

Ada rencana yang disimpan rapat oleh Naeun, ia tak mungkin berdiri di belakang sang kakak lebih lama lagi dan menghadapi segala kegilaan ini. Ia ingin hidup bebas, memilih dan melakukan apapun tanpa banyak aturan.

Tidak ada tempat mengadu dan berbagi keluh setelah orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan pesawat tiga tahun lalu, satu-satunya orang yang dapat ia percaya sekarang adalah bibinya yang berada jauh di Busan.

Normalnya Jungwoo adalah kakak laki-laki biasa yang tak jarang pula memberinya perhatian. Namun ketika satu sisi itu muncul, Jungwoo menjadi sosok yang berbeda. Ia bukan lagi seorang kakak yang Naeun kenal.

Satu kejadian yang tak pernah, atau mungkin, tidak akan bisa Naeun lupakan di malam bersalju seminggu setelah orang tua mereka dimakamkan. Kondisi Jungwoo semakin terpuruk, memori gelap di dalam kepalanya terus berputar tanpa jeda. Seseorang mabuk dan melecehkannya, Jungwoo tanpa segan langsung merobek perut pria itu dengan kawat dan melubangi kepalanya dengan botol kaca.

Beruntung malam itu tak jadi lebih buruk lantaran Naeun lebih cepat meminta pertolongan ketika Jungwoo hampir mematahkah leher si pria.

"Apa dia masih hidup?" Naeun duduk dengan tenang di samping Taeyong yang masih meringkuk di atas tumpukan kardus, lembaran kain yang semula menutup rak-rak sayuran ia gunakan untuk menyelimuti tubuh pemuda itu.

Taeyong belum sadarkan diri, tubuhnya mulai menggigil di antara suhu rendah dalam ruangan yang dipenuhi bahan mentah tersebut.

Naeun menumpu dagunya pada kedua lutut yang ditekuk, memejamkan mata kuat-kuat merasakan dingin yang sama, ia tak menutup tubuhnya selain dengan seragam dua lapis yang tak begitu tebal. Tidak ada lagi kain yang dapat digunakan sebagai selimut. Entah dorongan dari mana, ia lebih baik menggigil dan memberikan semua kain itu kepada Taeyong.

Naeun dapat merasakan itu sebagai perempuan, ada nyawa lain yang tak berdosa yang harus ia selamatkan.

"Maaf, aku akan menebus kesalahanku. Entah apa yang akan terjadi di masa depan, aku pasti akan menebusnya." kalimat itu terucap pelan dari bibir pucatnya.

Entah berapa lama lagi mereka harus menunggu, mungkin Naeun bisa mencari tempat yang lebih hangat. Namun orang-orang masih ramai menjajal pesta di luar, beberapa pegawai masih lalu-lalang keluar masuk gudang penyimpanan untuk mengambil bahan makanan.

"Arrhh..."

Naeun menoleh karena suara itu. Keadaan pemuda di sampingnya benar-benar tidak terduga. Ia harap bukan efek samping dari bius pada janinnya. Naeun tidak ingin menghilangkan nyawa siapapun di sini, kecuali nyawanya sendiri. Ia menatap cemas wajah pucat yang disertai raut kesakitan itu.

"Hey kau kenapa?" Naeun berusaha menutup bagian tubuh Taeyong yang terkena udara langsung, memberi kehangatan sebisa mungkin dengan kain-kain seadanya.

"Aku mohon, jangan seperti ini." suaranya bergetar, pada situasi seperti ini ia ingin berteriak dan meminta tolong namun hal itu jelas akan membuatnya terjerumus pada masalah yang lebih besar.

Taeyong merintih, tanpa kendali ia menggigit bibirnya hingga terluka. Kesadaran berangsur datang, begitu dengan rasa sakit yang semakin parah. Matanya terbuka perlahan meski yang ditangkapnya hanya objek buram. Air mata mengalir bersamaan dengan keringat dingin.

Dadanya berkali lipat lebih sakit dari terakhir kali, sama seperti saat Jaehyun akan mengeluarkan manik dari dalam tubuhnya. Rasanya seperti dicabut nyawa meski ia belum pernah merasakan sekarat itu sendiri. Taeyong meremat benda apapun dengan kuat, namun faktanya ia tak bisa menahan.

Apa yang didengarnya terakhir kali adalah suara tangis seseorang.

***

Jaehyun cukup kesulitan untuk mengandalkan indra penciumannya karena seafood panggang, tumis daging, dan hidangan lain yang baru keluar dari dapur. Asap dari piring yang dibawa para pelayan itu masih mengepul.

"Sial!" ia tak henti mengumpat.

Taeyong sudah pasti tidak jauh dari sini, denyut di dadanya perlahan menghilang namun masih menyisakan nyeri yang kuat. Orang-orang mulai kehilangan akal, menari dan bercumbu dengan pasangan mereka. Jaehyun menatap dingin gerombol manusia di ruangan itu, mereka tidak bersalah namun rasanya ia ingin menarik satu persatu jantung manusia-manusia itu dan menaruhnya di atas panggangan.

Pasangannya sedang kesakitan dan ia tak tahu sosok itu sekarang ada dimana.

Jaehyun sebisa mungkin menekan emosinya, ia telah berjanji untuk hidup damai dan tidak mengambil satu nyawa pun demi pelampiasan. Namun bukan tidak mungkin jika sesuatu terjadi pada miliknya, Jaehyun masih bisa mengoyak daging manusia dengan kuku dan taringnya jika harus.

Ditariknya satu pelayan yang akan memasuki dapur, wanita itu tampak terkejut terlebih karena warna mata Jaehyun.

"Kau melihat seorang lelaki dengan tinggi sekitar 170 cm, mata bulat, imut, rambutnya cokelat gelap dan... perutnya sedikit membesar."

Informasi terakhir sangat tidak berguna karena Taeyong memakai baju berlapis tebal namun pelayan itu dengan cepat menjawab.

"Maaf Tuan, kalau pun saya melihatnya saya tidak akan ingat. Saya lebih banyak bekerja di dapur."

Jaehyun mengusap wajahnya semakin gusar, ia membiarkan pelayan itu pergi dan berniat mencari ke tempat lain namun perhatiannya tertarik pada pintu logam yang tak jauh dari dapur.

Bau itu sedikit tercium, bau persik bercampur mawar. Hanya Taeyong yang memiliki bau manis seperti ini.

Jaehyun berjalan tanpa ragu ke dekat pintu, ketika kakinya berhadapan dengan lempeng logam sesuatu berdenyut kuat di dada. Rahangnya mengeras, menusuk pintu logam itu dengan tatapan matanya.

BRAKK!!

Pintu terbanting cukup kuat, tidak ada siapapun di dalam kecuali rak besar dan tumpukan kardus pada satu sisi ruangan.

Namun bau itu semakin kuat.

"Taeyong!!" Jaehyun berlari ke belakang tumpukan kardus, seperti yang ia duga, Taeyong berada di sana.

Namun sesuatu membuatnya terkejut sesaat, seseorang sedang memeluknya. Perempuan berambut panjang yang ia kenal.

"Menjauh darinya." suara itu tenang namun mengancam.

Naeun tercekat mendengarnya. Perempuan dengan poni ikal itu menjauh, niatnya hanya ingin melindungi Taeyong dari hawa dingin dan membuatnya tenang, tidak lebih.

Sesungguhnya Jaehyun ingin mencekik, melempar dan menghancurkan perempuan yang kini tengah menatapnya dengan derai air mata, namun begitu melihat keadaan Taeyong yang terlelap dalam kain-kain itu membuatnya urung.

Ia bisa membantai banyak orang namun dengan resiko kehilangan satu orang. Dan itu lebih buruk dari apapun.

Jaehyun berjongkok lalu berbisik tepat di samping wajahnya, "Kau bisa pergi dan menghilang dengan kakimu atau aku sendiri yang akan melenyapkanmu."

"Maafkan aku." Naeun hanya mampu bergumam namun ia yakin dokter itu dapat mendengarnya.

Jaehyun tak memberi respon, ia membiarkan perempuan itu pergi dan kini hanya ada mereka berdua di ruangan. Jaehyun melepas emosi lain yang ia tahan sejak tadi, merengkuh sosok itu ke dalam pelukan lalu mendekapnya dengan erat.

"Maaf, maafkan aku." suaranya lemah terdengar, tenggelam di pundak pemuda manis yang kini berada dalam rengkuhnya.

"Terima kasih sudah bertahan."

Ia menciumi wajah Taeyong sebelum membawanya pergi jauh ke tempat yang lebih aman.

-

To be continued...

Ada pertanyaan mengenai Rain Fox? Here ya >>

Terima kasih sudah membaca.
—Jen

(✔) Rain FoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang