RF.02

37.1K 6.5K 660
                                    

©dotorijen
-

Vote ya ^^

Pagi pertama begitu sepi. Belum terbiasa dengan suasana setenang ini. Namun betul ini merupakan sebuah anugrah. Biasanya ada kakek yang terbatuk di kamar sebelah, lalu benda dapur bersenggolan di kamar lainnya. Sekarang semua suara itu telah menghilang. Begitu damai. Ini yang Taeyong harapkan.

Kuning kembali menghampar di kejauhan, ladang gandum. Indah sekali. Kalau setiap pagi disambut lukis alam seperti ini, Taeyong sudi membayar dua kali lipat untuk tetap tinggal. Sekali lagi, dia beruntung, lebih dulu mendapatkan rumah ini dengan harga sedikit dilebihkan.

Seseorang bersepedah membunyikan lonceng, menyapanya dengan senyum dan lambaian tangan. Dia ingat, pemuda itu adalah si pemilik toko buah. Sangat ramah.

"Hai nak!"

Baru saja kakinya melangkah, seorang nenek memanggilnya. Wanita renta itu berjalan lambat, menuruni jalan menuju rumahnya.

"Tunggu nek, biar aku yang ke sana!"

Taeyong lekas menuruni pekarangan kecil rumahnya, melewati pagar kemudian menggapai tangan si nenek.

"Mau kemana?" dia bertanya dan si nenek hanya menyerahkan sesuatu kepadanya.

"Aku ingin memberimu ini."

Taeyong terkagum, menerima seranjang buah persik segar.

"Terima kasih nek. Nenek mau mampir? Ayo, aku punya teh madu."

Si nenek melepas tangan Taeyong, ganti menggenggamnya dengan lembut. "Tidak usah manis, nenek harus pergi ke ladang, lain kali saja."

"Mau ku antar? Aku bisa membawa sepedah."

Taeyong mengerjap, dia mendapat sentuhan hangat di pipinya.

Nenek itu berkata lagi. "Anak manis, anak baik, tidak usah, jaga dirimu sayang. Nenek akan pergi bersama kakek, kau tidak mungkin membawa kami berdua. Kembalilah dan jaga dirimu."

"Baiklah nek, lain kali aku akan berkunjung ke rumah nenek. Boleh?"

"Tentu. Jaga diri, ingat apapun yang terjadi, jangan berpikir itu akan buruk..." si nenek mengusap pipinya sekali lagi, "baiklah, nenek akan pergi sekarang."

Taeyong menatap dengan bingung. Si nenek sangat—terlalu perhatian sampai mengucap jaga diri berulang kali. Namun Taeyong tetap tersenyum, merasa hangat.

Si nenek pergi, sedang Taeyong juga kembali masuk ke dalam rumah barunya yang kini dia huni.

***

Taeyong menyimpan persik ke dalam wadah lain. Tiga butir persik sudah matang, merah muda. Dua lagi masih agak mentah.

Terlalu sepi, dia jadi rindu kebiasaan kota. Bising.

Srekk...

Itu lagi, Taeyong menegang. Suara itu kembali terdengar, masih di balik atap rumah. Dia ingat belum meminta kunci. Lekas Taeyong berdiri setelah menyimpan persik terakhir ke dalam wadah namun kemudian ia mengernyit.

Ada sebuah kunci, tergeletak di dasar ranjang rotan yang diberi si nenek tadi. Kebetulan? Mungkin.

Taeyong tak ambil pusing, ia segera mengambil kunci tersebut, melangkah pelan, menapak di tangga. Ia meringis, kayunya seakan mau roboh setiap kali ia melangkah. Dua anak tangga tersisa, di depan mata sebuah pintu kayu menjulang.

Taeyong menggigit bibir dalam. Sesaat ragu. Mengambil napas, akhirnya ia berani menggapai gagang pintu. Memutar lalu menariknya keluar.

"Permisi?" dia menyapa-benar konyol. Padahal di dalam tidak mungkin ada seseorang, hanya gelap gulita.

Taeyong masuk ke dalam, ragu dan takut. Napasnya sesak, menghirup udara yang serasa dibagi dua.

Tangannya merayap di dinding, mencari saklar lampu. Berhasil ia sentuh benda putih persegi panjang itu, lekas ditekannya sekali. Cahaya remang merambat, menimpa segala benda-benda di sana, juga sesosok tak biasa.

Taeyong melangkah ke belakang, bersiaga kalau saja ia harus berlari, menyelamatkan diri.

"K-kau siapa?" suaranya pecah, getar takut tak kuasa ia tahan.

Sosok itu terbaring lemah, sekarat. Kakinya merah bengkak, darah kering tercecer di lantai. Kondisinya begitu buruk. Matanya terpejam, bibir bergetar, dan tubuhnya menggigil.

Taeyong menepis rasa takutnya. Ia berjalan mendekat dengan tatapan yang melekat pada luka di kaki si pria.

"Aku akan membawamu ke rumah sakit."

Taeyong memejamkan mata, menggigit bibir. Sekarang, bagaimana caranya membawa tubuh setinggi 6 kaki? Taeyong menjatuhkan pandangan, membandingkan ukuran tubuh si pria asing dengan miliknya. Sungguh, terlampau jauh.

"Hey, kau bisa jalan?" Taeyong bertanya, kemudian meringis. Mana mungkin dengan luka separah itu, Lee.

"Pegang tanganku, ayo turun ke bawah."

Pria itu masih bergeming. Namun tak berapa lama ada pergerakan kecil. Pria itu menggeliat, matanya terbuka segaris.

"Aku akan mengobati lukamu, ayo turun ke bawah."

Dan hanya diam yang dia dapat.

"Tuan?"

Sret!!

Tenaganya terlalu kuat untuk orang yang sekarat. Taeyong tersentak, tubuhnya terbanting ke bawah. Bukan main, rasanya sakit. Tuhan!

Begitu sadar, dirinya telah berada di atas si pria. Wajahnya tersandar pada dada, degup jantung yang tak normal mengalun di telinganya. Taeyong melotot, ingin berontak sebelum suara itu terdengar samar,

"Jangan pergi."

-

To be continued...

Bagaimana? Sampai di sini masih oke?

Aku gerah sama sider haha 😘 kecup dulu sini ubun-ubunnya :)

Terima kasih sudah membaca,
Mind to vote and comment?
—Jen

(✔) Rain FoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang