34. Sebuah Mahkota (2)

5.7K 643 70
                                    

Mahkota itu tertutup salju, semarak kilau emasnya segera menghilang. Yang Mulia mendekapnya, menaruh ribuan maaf untuk alasan tak terucap.

Terbelenggu, Naga itu tidak bisa terbang. Menunggu rantai itu terseret arus kematian.

Terkurung, kasih itu tak pernah pudar. Bagaimana dia bisa terbang bebas dibawah rantai yang tajam?

Menunggu, baktinya belum terselesaikan. Menjadi pilar langit, melindungi bunga yang lembut.

Tertidur, menunggu musim dingin terlahir kembali. Dan musim semi yang melahirkan bunga tercantik di Tiga Alam.

**

Musim telah berganti. Hari-hari penuh kesejukan aroma bunga sudah lama berlalu. Kicauan burung terdengar semarak, dan kelinci-kelinci bulat berkerumun mencari rumput segar. Di bawah pohon tua sekelompok kupu-kupu bersayap biru hinggap pada bunga yang sedang mekar. Diiringi suara gemerisik dedaunan yang terdengar menjadi sebuah melodi tersendiri.

Seorang bocah bertubuh langsing melompat keatas pohon, dia meraih setangkai bunga lalu membawanya turun. Ia tersenyum samar, dengan segera dia menyelipkan bunga itu di bagian ikat pinggangnya lalu sedikit menyamarkan bunga itu dengan jubahnya yang menjuntai. Dia teringat akan Ibunya, selamanya, ia akan menaruh bunga di ikat pinggangnya seperti yang diinginkan Ibunya. Baginya, hal ini sangat penting meski ada beberapa orang yang menganggapnya konyol. Dia tidak peduli.

Mengangkat tangan, dia melihat sebuah seruling bambu berwarna hijau yang mengkilat. Dengan wajah yang biasa, dia menyembunyikan seruling itu di dalam kantong baju miliknya. Kemudian duduk dibawah pohon sambil menghafal peraturan sekte. Beberapa lama kemudian ia menghela napas, kepalanya mendadak terasa sakit. Mungkin besok jika peraturan di sini bertambah menjadi 4.500 atau bahkan 5000, dia tidak akan mau menghafalnya. Dia mau pulang ke rumah saja.

"Aku ingin cepat tumbuh dewasa."

Bibir itu berucap dengan malas. Wajahnya yang biasa memiliki ekspresi presis Lan WangJi itu sekarang berubah lesu. "Tapi bagaimana jika Ibuku malah takut padaku?"

Bola mata kembar sebening embun itu bergulir kesamping, lalu dia bertanya-tanya kapan shifu-nya akan datang. Dia belum melihat Ayahnya pagi ini, jadi dia tidak bisa tau apakah dia datang atau tidak. Ia mengambil buku di meja batu, lalu mulai membacanya dengan posisi duduk yang benar. Lan YiHua memeras otaknya berkali-kali, memaksa otaknya untuk mengingat urutan peraturan itu dengan detail.

Suara mendesing dari kejauhan terdengar kejam, membuat matanya memincing tajam. Dengan posisi duduk yang masih sangat anggun, tangannya bergerak mengambil selembar daun dibawah kakinya. Jari-jari rampingnya mengapit daun dan membelainya sekilas lalu dengan sebuah gerakan cepat dia mengirim daun itu terbang, memblokir serangan didepan matanya.

TANG!

Sebuah benda jatuh terpental saat bertabrakan dengan daun itu. Lan YiHua mendekat, dia mengambil pedang itu dan mengusap gagangnya. Anak itu mendengus, dia  kemudian menancapkan pedang itu di samping meja batu tempatnya duduk lalu dia mulai membaca bukunya kembali. Tak berselang lama, Lan XiChen datang bersama Ayahnya. Anak kecil itu segera berbunga-bunga di dalam hatinya, dia berlari untuk menyambut keduanya.

"Shifu, Ayah,"

Lan WangJi mengangguk sedikit sambil bergumam 'mn'. Sementara Lan XiChen sudah tersenyum dengan begitu lembut kemudian mengangguk. "A-Yi.."

Setelah memberikan hormat, dia segera menerjang Lan WangJi. Ayahnya melirik buku diatas meja batu, lalu mengelus putranya yang memegang sebelah tangannya. Lan YiHua kembali ke wajah yang biasa, dia menjauhi Lan WangJi dan mencabut pedang yang tertancap. "Apakah tadi shifu menguji gerakanku dengan ini?"

[END] LOTUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang