•°°• _19_ •°°•

1.8K 153 22
                                    


Nayeon merebahkan tubuhnya di kasur empuk bermotif kuda poni. Matanya menatap palfon rumah dengan tatapan nanar. Beberapa kali helaan napas panjang dihembuskan. Tubuhnya lelah dan hatinya juga sama, mulai merasakan lelah. Pikirannya bingung mencari ide untuk memperbaiki kehidupannya. Bukan kehidupannya, tetapi memperbaiki keuangan yang akan semakin sulit diatasi.

Nayeon merogoh buku tabungan yang ada di tas tepat di sebelah tempat tidurnya. Tangan mungilnya membuka perlahan buku biru tersebut dan menatap nominal yang tidak sedikit.

"Apa aku harus mulai menggunakanmu?" Tanyanya dengan wajah ragu. Nayeon menatap buku tabungan yang selalu mendapatkan transferan dari sang Ayah, tetapi tidak pernah digunakan.

Dia selalu menggunakan gajinya untuk memenuhi segala kebutuhan. Berbeda dengan Sana yang selalu kekurangan uang dan meminta kepada orang tuanya. Nayeon jauh lebih mandiri dari segala hal.

Sekali lagi, Nayeon menatapnya dengan wajah malas dan memasukannya kembali ke dalam tas. "Apa aku gunakan saja untuk modal usaha, ya? Aku rasa cukup."

Nayeon memilih memejamkan mata. Hari ini pikirannya lelah. Setelah pertemuan dengan Mark, dia langsung meluncur mencari pekerjaan, tetapi tidak juga dapat. Ternyata memang mencari pekerjaan tidak semudah membeli permen karet. Baru sebentar matanya tertutup, suara gebrakan pintu membuatnya kembali membuka mata.

Nayeon menghela napas panjang dan menatap siapa yang membuat onar di kamarnya. Tampak seorang wanita dewasa dengan dress berwarna tosca dan rambut sang tersanggul rapi masuk ke dalam kamar. Sepatu hills yang digunakan membuat Nayeon terpaksa menegakan tubuh dan menatap wanita tersebut dengan wajah malas.

"Pagi sudah pergi, siang tidak pulang dan sore malah asik-asikan. Kamu pikir kamu tinggal di rumah ini gratis, Nayeon?" Suara tajam tersebut mulai mengalun dalam indra pendengarnya.

Nayeon hanya menunduk. Dia tidak lupa siapa dirinya. Dia hanya anak panti yang kebetulan bertemu dengan seorang pasangan baik dan berakhir di rumah yang hingga saat ini dijadikan tempatnya untuk berlindung. Hatinya sudah begitu kebal mendengar fakta yang tidak lagi dipungkirinya. Sudah ratusan bahkan ribuan kali dia mendengar sebuah dongeng yang sama dari wanita yang sama.

"Kamu tidak seharusnya ada di kamar dan bersantai, Nayeon!" Teriaknya tepat di depan wajah Nayeon dan itu membuat gadis tersebut mengkerut menahan takut. "Sekarang keluar dan bersihkan rumah. Jangan sampai ada yang tertinggal debu sedikit pun."

Nayeon baru saja hendak bangkit saat tangan tersebut mencengkramnya dengan erat dan menarik paksa tubuhnya. Bahkan, tidak jarang dia membentur tembok ketika dia berusaha memberontak dengan tindakan sang Ibu Tiri.

"Lepasin, Bu. Nayeon akan ke sana." Ucapnya dengan tangan yang masih mencoba melepaskan genggaman tangan sang Ibu.

Taeyeon geram mendengar ocehan Nayeon yang tiada habisnya. Tangannya langsung menyentak Nayeon ke depan, membuat gadis tersebut terhuyung dan membentur tembok dapur. Membuat goresan luka di dahi sebelah kiri. Nayeon hanya memegangi lukanya dengan ringisan tertahan.

"Diam dan jangan membantah. Lakukan semua pekerjaan rumah dan jangan ada yang salah." Desis Taeyeon dengan mata yang menunjukan amarah.

Nayeon hanya menghela napas panjang menyadari tindakan Ibu Tiri yang semakin menjadi-jadi. Dia bukannya tidak ingin membantah dan mengadukannya kepada sang Ayah, tetapi hatinya mencegah semua itu. Ingatannya masih bergelung dengan kesedihan Ayahnya ketika istri yang sangat disayanginya pergi. Hidup terpuruk dan tidak memiliki semangat. Nayeon masih ingat itu dan dia enggan mengulangi kepedihan yang dirasakan ayahnya. Dia memilih untuk bungkam agar tidak ada perpecahan yang membuat ayahnya kembali terpuruk.

Marriage HurtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang