Part 2

15K 806 35
                                    

Tuhan yang menguatkan, manusia yang mengambyarkan.

***

Malam minggu memang malamnya para pasangan bersenang-senang menikmati waktu bersama, tapi bagi kaum yang tak punya pasangan alias jomblo malam minggu merupakan malam yang ngenes ada juga yang tak peduli dan menganggap semua malam sama saja tak ada bedanya.

Lain lagi dengan malam minggunya para pekerja medis, seperti dokter. Setiap malam minggu pasien karena kecelakaan lalu lintas selalu berdatangan. Seperti sekarang ini.

IGD memang tak pernah berdamai, selalu saja ramai.

"PASANG AMBU!"

"DEFIBILATOR!"

"WOEY COY! INI EKG NYA MANA? UDAH TAK TUNGGUIN NEH!"

Begitulah kira-kira suasana IGD saat ini, mereka semua bekerja keras di sana. Lain lagi dengan Dinda yang kasian melihat mereka. Dirinya hendak pulang ke rumah karena tak ada lagi operasi.

Saat sedang miris-mirisnya melihat suasana IGD, Rivan pun menatap Dinda yang berdiri di depan pintu. Jelas Dinda bisa melihat Rivan yang sedang di IGD melihat ke arahnya. Mata mereka saling bertemu.

Kalau boleh di bilang, sebenarnya Dinda masih kesal dengan kejadian tadi pagi tapi mau bagaimana lagi, ia tak boleh egois karena mau bagaimana pun juga Rivan adalah temannya sejak kuliah kedokteran yang berarti sudah bagaikan suadaranya sendiri.

Dari sini, Dinda tersenyum lebar. Kedua tangannya mengepal keatas dan memberikan semangat kepada Rivan yang melihatnya dari dalam.

Rivan sedikit terkejut melihat perlakuan Dinda yang tiba-tiba seperti itu, karena tak tahu mau memberikan ekspresi apa Rivan hanya tersenyum lebar walau hanya sekilas tentu membuat Dinda terkejut karena selama ini Rivan tak pernah senyum selebar itu.

Anetha yang dari tadi sibuk berteriak menanyakan alat EKG pun juga ikut kaget melihat nya, Anetha menatap ke arah luar ternyata Rivan menunjukkan senyumnya pada teman sengklek nya itu. Siapa lagi kalau bukan Adinda Nifsihani.

Lain lagi dengan Dinda yang sudah berusaha menetralkan degup jantungnya yang datang tiba-tiba, entah kenapa aneh rasanya begitu melihat Rivan tersenyum lebar seperti itu. Kalau dipikir-pikir lagi Rivan cukup manis jika tersenyum seperti itu. Tak ada lagi wajahnya yang seram karena tak pernah memberi senyum pada orang lain.

"Gila lo!" gumam Dinda yang berusaha menyadarkan dirinya sendiri.

"Siapa yang gila Din?" tanya Ivan yang tiba-tiba saja berada disebelahnya.

"Lo yang gila!" jawab Dinda yang langsung pergi meninggalkan Ivan yang malah bingung sendiri.

Baru saja keluar dari pintu rumah sakit, tiba-tiba saja seorang wanita membawa bayi dalam gendongannya, anaknya terus menangis begitu juga dengan sang ibu yang khawatir dengan kondisi anakanya yang kira-kira masih berumur tiga tahun.

"Dok, tolong anak saya." Dinda malah bingung harus bagaimana, dirinya bukan spesialis anak.

"Ibu ke IGD dulu ya." wanita itu menurut perkataan Dinda.

"Van, sini lo cek anaknya!" teriak Dinda yang sudah mengalahkan pedagang pasar.

"Bocah Edan! Bukan spesialis gue tolong!" teriak Ivan yang masih berdiri di depan pintu IGD.

"Spesialis anak disini." ucap seorang pria yang datang memakai sneli dan stetoskop yang ia lepaskan dari lehernya.

"Siapa lo? Dokter gadungan ya?!"tuduh Dinda namun pria itu tak menghiraukannya.

The Doctor Difficult WordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang