Ketika hati hanya bisa memendam, karena kata tak mampu ungkapkan rasa yang begitu dalam.
***
Setelah makan, Dinda membereskan piring-piring yang ia pakai tadi untuk makan."Daffa sialan, bukannya bantuin gue nyuci malah pergi," gumam Dinda kesal.
Semua piring-piring yang Dinda pakai ia letakkan kembali ke rak dan Dinda memutuskan keluar dari dapur untuk mencari udara segar. Alam Nusa Tenggara Barat sepertinya sudah tenang, ia tak menunjukkan lagi guncangan atau hal-hal buruk lain yang berpotensi membahayakan para penduduk setempat.
"Eh Din, lo udah makan nasi yang gue kasih?" tanya Ayla yang tiba-tiba datang, tentu Dinda mengernyit heran kapan Ayla mengasihnya nasi?
"Tadi gue suruh Daffa yang kasih, harusnya gue mau makan bareng sama lo." Dinda hanya ber-oh ria mengerti dengan ucapan Ayla barusan.
"Kenapa tiba-tiba mau makan bareng sama gue?"
"Sepi nggak ada temen cewek yang sebaya disini,"
"Lo benar, makanya itu gue bantu kalian." Ayla dan Dinda akhirnya memutuskan untuk mengobrol sambil berjalan.
"Ngomong-ngomong kenapa lo kesini?" Ayla sungguh penasaran sekali, mengenai Dinda yang tiba-tiba bisa langsung datang begitu mereka semua baru saja satu minggu disini.
"Karena Rivan, gue mau bilang makasih sama dia tapi malah nggak sempat padahal lusa gue harus pulang." Jelas Dinda begitu tahu kalau orang yang menolongnya waktu ia kesusahan saat kuliah adalah Rivan.
"Makasih buat apa?" Dinda hanya tersenyum saja, Ayla yang mengerti kalau Dinda tak mau menjawab pertanyaannya hanya bisa diam.
Rivan memberhentikan mobilnya begitu sudah sampai di depan tenda, langit sudah menujukkan warna gelapnya. Tak ada lagi sinar matahari yang menyinari hari karena sudah malam.
Bulan dan bintang menghiasi langit yang menunjukkan warna gelapnya, begitu Rivan menutup pintu mobilnya dan hendak masuk ke dalam tenda langkah Rivan langsung berhenti begitu melihat Dinda yang sedang terduduk di meja yang berada di depan tenda.
Wajahnya menghadap ke kanan memunggungi posisi dimana tempat Rivan berdiri saat ini, rambut Dinda yang panjang tergerai begitu saja. Rivan meletekkan tas selempang berwarna hitam yang ia bawa dan meraba saku celananya.
Entah apa yang dilakukan Rivan saat ini, ia pun juga tak paham mengapa setiap hari membawa ikat rambut yang berwarna hitam yang ia beli beberapa tahun lalu dan masih ia simpan saat ini.
Tepat dibelakang Dinda, Rivan jongkok dan mengikat rambut panjang Dinda dengan sangat hati-hati agar ia tak bangun dari tidurnya.
Rambut Dinda terikat dengan sempurna, Rivan tahu kalau Dinda pasti akan kepanasan tertidur disini karena nampak dari bajunya yang berkeringat makanya itu Rivan mengikat rambutnya.
Rivan melihat Dinda seperti ini malah tersenyum saat ia koas dulu, Dinda dengan sikap jahilnya itu malah menganggu sampai ia kena batunya sendiri.
Saat itu Rivan benar-benar lelah dan terkapar di atas sofa yang berada diruangan staf. Karena dingin Rivan sengaja tak melepas sneli yang ia kenakan, saat itu Rivan baru selesai operasi bypass jantung selama lima jam dan malam ini sudah menunjukkan pukul enam pagi dan Rivan belum tidur sama sekali.
Baru lima belas menit rasanya ia tertidur pulas, namun Rivan merasa terganggu dengan kehadiran seseorang yang memakai pakaian sama sepertinya dengan dalaman pakaian operasi dan sneli ia kenakan sedang berjalan mengendap-ngendap menuju ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Doctor Difficult Word
RomanceSekuel dari 🚑 He's My Romantic Doctor 🚑 [End] Judul pertama: Difficult Word Mengisahkan perjuangan cinta dari seorang dokter spesialis Anestesi yang bernama Adinda Nifsihani yang berusaha meluluhkan hati sedingin es layaknya kutub Utara dan Selata...