Terkadang lebih mudah bagi seseorang untuk tidak tahu apa-apa daripada ia tahu segalanya.
***Dinda yang baru keluar dari ruang operasi, memijit tengkuk lehernya. Entah sudah berapa kali ia terus menguap.
Tiba-tiba Dinda merasa ada yang merangkul bahunya. Di lihatnya Rivan yang sedang berjalan lurus kedepan seoalah tak tahu tangannya berada dimana.
"Jalan yuk." hanya dua kata yang keluar dari mulut Rivan saja membuat Dinda sukses merasa bahagia tak karuan.
"Kemana?"
"Tempat kemarin, nanti malam jam tujuh gue tunggu." Dinda mengernyit heran, tempat kemarin mana maksudnya?
"Yang mana?" sudah Rivan duga, Dinda pasti lupa tempat itu dimana. Padahal Rivan sudah menunggu Dinda dalam waktu yang lama saat itu.
"Restoran tempat gue nungguin lo lama banget hari itu." Dinda meringis, bagaimana bisa ia lupa? Ia merutuki kebodohannya saat itu.
"Maaf."
"Maaf kenapa?" tanya Rivan.
"Maaf waktu itu gue udah buat lo nunggu lama," Rivan tersenyum dan mengacak rambut Dinda pelan. Tangannya terlepas dari bahu Dinda dan beralih mengenggam tangannya Dinda.
Rivan lalu berjala mundur dengan satu tangan dimasukkan ke dalam kantung sneli nya sementara satu tangannya memegang tangan Dinda.
"Nggak papa, gue juga ngerti kalau waktu itu lo lagi terluka. Lo nggak tahu aja betapa paniknya gue dengar lo diserang."
"Tapi kok lo bisa ada didepan restoran yang udah tutup itu? Jangan bilang lo nungguin gue dalam mobil?" Rivan meneguk salivanya, langkah kakinya terhenti begitu juga dengan Dinda. Dinda mengamati wajah Rivan yang nampak bingung.
"Nggak, waktu itu gue mau ambil hape gue yang ketinggalan. Pas gue mau pulang lo malah turun dari taxi." bohong Rivan dan bodohnya Dinda malah percaya. Sungguh pasangan yang serasi, yang satunya pandai berbohong sedangkan satunya pandai tertipu saking polosnya.
"Jadi gimana, mau apa nggak?" tanya Rivan yang malah melanjutkan jalan mundurnya sedangkan Dinda juga ikut berjalan maju karena tangannya tertarik.
"Mau!" jawabnya semangat dan Dinda menarik tangan Rivan sampai Rivan hampir terjengkang kedepan untung saja ia bisa mencegahnya.
Melihat Dinda yang kembali mengenggam tangan Rivan dan berjalan mundur sambil menatapnya membuat Rivan hanya bisa tersenyum, jadi ini alasannya mengapa Dinda menarik tangannya tadi.
"Pantes ya tangan gue ditarik tadi, rupanya lo mau jalan mundur." Dinda hanya terkekeh pelan mendengar ucapan Rivan barusan.
"Nggak usah jalan kayak gitu ah, lo nggak paham sama jalan mundur ntar lo jatuh."
"Dih ngeremehin, gue lebih ahli dari lo asal lo tahu aj-" Dinda malah termakan omongannya sendiri, kakinya terkilir dan saat melihat ke bawah sandal karetnya ternyata bolong.
"Lagi?" tanya Rivan terkekeh.
"Nggak ngerti lagi dah, tiap makek sandal selalu bolong. Sandal aja nolak gue." Lirihnya pelan.
"Pakai punya gue aja nih," Rivan menyodorkan sepasang sandal karet yang ia pakai, tentu Dinda menolaknya.
"Apaan nggak usah, jujur ya sama gue pas koass lo kasih sandal lo. Lo diusir kan sama professor Dendi?" tanya Dinda, ia tahu beritanya karena sudah tersebar luas 'seorang koass yang diusir dari ruang operasi hanya karena tak memakai sandalnya'.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Doctor Difficult Word
RomanceSekuel dari 🚑 He's My Romantic Doctor 🚑 [End] Judul pertama: Difficult Word Mengisahkan perjuangan cinta dari seorang dokter spesialis Anestesi yang bernama Adinda Nifsihani yang berusaha meluluhkan hati sedingin es layaknya kutub Utara dan Selata...