Harapan adalah satu-satunya hal terkuat untuk menghadapi kecemasan.
***
Berita mengenai penyebaran virus Ebola yang ada di Nusa Tenggara Barat tentu sudah menyebar luas di seluruh Indonesia.
Banyaknya reporter yang berdatangan untuk meliput di statisiun televisi dari masing-masing nama sudah ada disini. Anetha yang menonton berita itu dari televisi yang berada di kantin rumah sakit tentu merasa khawatir dengan kondisi Dinda yang baru saja sampai disana.
Apalagi di berita menyebutkan kalau dua orang dokter dan empat orang lainnya di karantina dan total keseluruhan yang terpapar virus Ebola terdapat enam orang.
Anetha terus menelpon nomor Dinda namun malah tak aktif, membuat Anetha semakin frustasi dan terduduk lemas di kursi.
Cukup lama menunggu, akhirnya Dinda menelpon balik dan tentu Anetha langsung mengangkat panggilannya.
"Woy! Halah gue bilang juga apa, nggak usah kesana ngotot banget sih. Terus dua orang dokter yang dari rumah sakit kita itu siapa?" Anetha langsung mengucapkan seluruh kecemasannya sampai-sampai Dinda yang hendak ngomong saja terpotong.
"Sabar cuy, belom juga ngomong udah nyerocos duluan aja."
"Serius Din, plis nggak ada lagi kata bercanda kayak biasa."
"Rivan sama gue,"
Anetha menutup mulutnya tak percaya, air matanya menetes mendengar kabar itu.
"Kok bisa?" lirih Anetha.
"Ya bisalah Neth, namanya juga virus mana kita tahu bisa apa nggak nyerang tubuh. Eh, udah dulu ya si kecap bango dari tadi nelpon gue terus. Lo tenang aja deh, gue anaknya Muhamad Ali jadi nggak bakal positif jangan kepikiran banget ya. Kasian keponakan gue ntar malah kenapa-kenapa karena bundanya stress."
Sambungan telpon terputus dan Dinda langsung mengangkat panggilan dari Kevin, bahkan sudah banyak pesan-pesan yang dikirin Kevin yang menanyakan kondisinya.
"LO NGAPAIN KE NTB, BEGO!" Dinda menjauhkan ponsel dari telinganya begitu mendengar teriakan Kevin yang nyaring di telinganya.
"Gila lo baru telpon aja udah teriak-teriak, mau bikin gendang telinga gue pecah?!"
"Serius Din Ah, lo ngapain kesana? Jadi relawan lo nggak mungin karena lo spesialis anestesi."
"Emang siapa bilang gue relawan? Niat gue kesini mau liburan." jawab Dinda asal dan tentu Rivan tak mempercayainya.
"Nggak akan ada orang waras ke tempat yang masih ada potensi tsunami lagi cuma buat liburan, gue nggak sebego yang lo pikir." Dinda terdiam mendengar jawaban Kevin, karena biasanya Kevin mudah tertipu tapi sekarang malah tidak membuat Dinda semakin bingung harus menjawab apa.
"Din, jawab gue. Gimana ceritanya lo bisa sampai kesana?"
"Gue bujuk pak Hendro."
"Gimana bisa? Bukannya pak Hendro susah buat nggak ngasih ijin?" tanya Kevin, ia heran karena tak biasanya Hendro akan mengasih ijin kesembarang orang kalau bukan untuk hal-hal penting.
"Ya gue cuma bilang aja, kalau gue bakal ambil cuti buat akhir tahun jadi tahun ini dan bakalan gue ganti pas akhir tahun. Jadi akhir tahun ini gue nggak ada cuti karena sekarang cutinya udah gue ambil buat ke NTB." Kevin mengusap keningnya tak percaya dengan ucapan Dinda, bisa-bisanya Dinda malah mengambil cuti untuk ke NTB.
"Dan pak Hendro setuju aja, gue bilangnya mau liburan ke Surabaya terus juga abang gue datang dari Kalimantan makanya di kasih. Dan saat itu jug ague langsung berkemas terus mesan tiket. Jam sembilan malam gue udah sampai disini." Jelasnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Doctor Difficult Word
RomansaSekuel dari 🚑 He's My Romantic Doctor 🚑 [End] Judul pertama: Difficult Word Mengisahkan perjuangan cinta dari seorang dokter spesialis Anestesi yang bernama Adinda Nifsihani yang berusaha meluluhkan hati sedingin es layaknya kutub Utara dan Selata...