Entah mengapa, terkadang waktu yang singkat dapat menyisakan rasa yang begitu kuat.
***
Dua minggu sudah berlalu, hubungan antara Rivan dan Dinda masih tak baik-baik saja. Dinda yang mengerti dengan ucapan Rivan kala itu menuruti permintaanya agar tak lagi dekat-dekat dengan Rivan.
Ada rasa sepi yang ia rasakan karena biasanya Dinda selalu menganggu cowok itu namun sekarang tak lagi, jangankan menganggu untuk tegur sapa saja rasanya tak mungkin.
Dinda duduk di taman yang berada dirumah sakit, pagi ini ia ingin menikmati udara segar. Ia memejamkan matanya cukup lama mengingat cerita Anetha yang dulunya jadian ditaman ini, ada rasa iri yang berada dalam dirinya sekarang.
"Anetha aja bisa jadian sama Rangga, kira-kira gue bisa nggak ya berakhir bahagia sama Rivan ditaman ini macam kowe berdua." gumam Dinda sambil tersenyum tipis, pikirannya kali ini benar-benar kacau.
"Tergantung kalian berduanya gimana," Dinda membuka matanya dan mendapati Rangga yang sedang berdiri dihadapannya menggunakan scrub yang berwarna sama dengan Dinda karena mereka berdua habis operasi dari pukul dua dini hari.
"Eh Rangga, kenapa?" tanya Dinda yang menutupi kekikukannya.
Rangga hanya menggeleng sambil tersenyum lalu duduk disebelah Dinda, Dinda hanya mengusap tengkuk lehernya canggung.
"Bukan masalah tempat, yang penting itu kalian berduanya gimana. Kalau satunya maju yang satunya mundur mana bisa jadian kalau begitu." ujar Rangga sambil memandang kearah langit yang terlihat cerah.
"Gue juga dulu kayak lo Din, selalu mengejar tapi orang yang kita kejar antara suka atau nggak kita nggak tahu. Kadang dia lembut kadang juga jadi pemarah jadi hal itu tentu buat kita ragu." Dinda yang mendengar itu menatap Rangga yang juga sedang menatapnya. Entah kenapa yang dibicarakan Rangga barusan sangat mirip dengan apa yang terjadi padanya.
"Lo tahu kan gue sama Anetha gimana? Apalagi Anetha itu gede di gengsi, ya sama Rivan juga kayak Anetha. Kadang menarik kadang mengulur, tapi dengan begitu kitanya jangan nyerah selagi dianya belom ada gebetan nggak masalah. Toh, masih gebetan mau pacaran juga tikung aja. Selagi janur kuning belum melengkung masih ada jalan untuk menikung."
"Sinting lo mau ngajarin gue jadi pelakor?" tatap Dinda sinis.
"Nggak gitu Din konsepnya, kalau kitanya lihat orang yang kita suka itu bahagia sama pacarnya ya mau nggak mau kita harus ikhlas. Bahasa Inggrisnya bulan sama pintu kalau digabungin?"
"Nggak tahu, gue goblok bahasa Inggris," Rangga hanya diam tak begitu menggubris ucapan Dinda barusan, pelajaran dasar saja Dinda tak tahu bagaimana bisa lulus kedokteran. Spesialis anestesi malah, spesialis yang didam-idamkan.
"Tapi Rivannya bahagia sama Hafidzah, berarti gue harus ikhlas ya?" ringis Dinda sambil terkekeh pelan.
"Nggak juga, gue yang temennya Rivan aja nggak pernah lihat ada kebahagiaan dimatanya kalau sama Hafidzah." Dinda yang tadinya merunduk melihat kakinya, langsung menatap Rangga.
"Maksudnya?"
"Rivan harus sabar pakek banget sama lo Din, kalau nggak sabar bisa berantem tiap hari."ucap Rangga yang langsung pergi, tak kuat rasanya menghadapi kelemotan Dinda yang benar-benar deep.
"Apa sih, nggak paham gue."gumam Dinda yang juga pergi ke ruangan staff untuk mengambil tasnya dan pulang.
"Din, tunggu!" panggil Rangga.
"Jangan berhenti, gue yakin Rivan nunggu lo."
"Nunggu gimana ya dokter Rangga Adi Pratama yang terhormat? Jelas sekali kemarin dia yang ngusir saya, dia juga yang suruh saya buat berhenti mengejar dia. Terus sekarang anda malah bilang Rivan nunggu gitu? Yang benar aja deh kalau ngomong!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Doctor Difficult Word
RomanceSekuel dari 🚑 He's My Romantic Doctor 🚑 [End] Judul pertama: Difficult Word Mengisahkan perjuangan cinta dari seorang dokter spesialis Anestesi yang bernama Adinda Nifsihani yang berusaha meluluhkan hati sedingin es layaknya kutub Utara dan Selata...