Semua hal itu butuh kepastian. Entah itu untuk memulai atau melepaskan.
***
"Gue suka sama lo, Adinda Nifsihani." lirihnya pelan sambil menatap Dinda yang juga menatapnya masih dengan tatapan benar-benar terkejut. Jika Rivan sudah mengucapkan nama lengkapnya, maka yang dikatakan Rivan itu benar-benar serius."G-gue pikirin dulu." Jawab Dinda yang membuat Rivan tentu saja kecewa, ia pikir akan langsung diterima. Tapi mau bagaimana lagi, Rivan juga tak bisa memaksa itu hak nya Dinda mau menolak atau menerimanya.
Mengingat sikapnya yang benar-benar dingin pada Dinda dulu membuatnya pantas mendengar ucapan Dinda barusan.
"Yaudah terserah lo mau jawab kapan, yang penting gue udah ngomong soal perasaan gue ke lo." ucap Rivan yang langsung melanjutkan langkahnya untuk membawa Dinda ke ruangannya, ia tak jadi ke IGD.
"Lah katanya ke IGD?" tanya Dinda yang turun secara perlahan dari punggung Rivan dan segera duduk di kursi Rivan.
"Nggak usah IGD rame, berdua lebih enak."
Deg.
"Kenapa lo tiba-tiba jadi gini?" tanya Dinda yang berusaha menghilangkan rasa gugupnya yang tak kunjung pergi.
"Kek gini gimana?"
"Y-ya gitu, lo tiba-tiba ngomong suka padahal kemarin ngomong nggak suka nyuruh gue menjauh. Gue udah menjauh lo malah ngomong suka sama gue jadi gue masih nggak paham aja." Rivan tersenyum lebar, ia menundukkan tubuhnya agar matanya sejajar dengan mata Dinda yang sedang duduk dikursinya. Wajahnya benar-benar dekat sekali, sampai hembusan nafas Rivan saja bisa Dinda rasakan.
"K-kenapa?" Dinda benar-benar dibuat mati kutu, bahkan ia sampai menahan nafasnya saking gugupnya.
"Lo imut kalau lagi gugup begini," goda Rivan dengan senyum diwajahnya, bisa diabetes kalau begini ceritanya.
Dinda mengerutkan keningnya, dan mendorong tubuh Rivan namun tenaga nya jauh lebih kecil dibandingkan dengan Rivan yang notabene nya seorang cowok yang memiliki tenaga jauh lebih besar.
Rivan menyentil kening Dinda dengan jari tangannya.
"Jangan kelamaan mikir makanya."ucap Rivan dan langsung pergi begitu saja.
"Tuh cowok kenapa sih?" gumam Dinda heran, karena tak pernah sekalipun rasanya melihat Rivan benar-benar tersenyum lebar seperti tadi.
Sedangkan Rivan hanya tersenyum sendiri, kalau tahu rasanya akan sebahagia ini mungkin sudah dari kemarin ia akan mengungkapkan perasaannya.
"Eh Rivan?" tanya Fila yang sedang berjaga di meja perawat.
"Gue mau minta es batu, nanti antarin ke ruangan gue." perintah Rivan.
"Buat apa?" tanya Fila heran.
"Dinda, kakinya keselo." mulut Fila membulat dan mengangguk, ia paham situasi ini.
"Nggak ah mager gue mau keruangan lo, lo tunggu aja bentar gue ambil sekarang." mana mungkin kata mager ada dalam kamusnya, Fila tak pernah malas hanya saja ia tak mau menganggu kalau nanti ia ke ruangan Rivan.
"Yaudah." jawab Rivan yang langsung duduk di kursi tunggu.
Tak sampai lima menit, Fila datang membawa plastik berwarna hitam dan memberikannya pada Rivan.
"Thank's." Fila hanya mengangguk dan melihat tubuh Rivan yang semakin lama semakin menghilang.
"Aura-aura mau balikan, tapi dari dulu emang nggak putus. Gimana sih cerita kalian semoga aja endingnya bagus deh malas gue lihat bocah ambyar disini," gumam Fila pada Rivan, padahal sendirinya juga bocah ambyar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Doctor Difficult Word
RomanceSekuel dari 🚑 He's My Romantic Doctor 🚑 [End] Judul pertama: Difficult Word Mengisahkan perjuangan cinta dari seorang dokter spesialis Anestesi yang bernama Adinda Nifsihani yang berusaha meluluhkan hati sedingin es layaknya kutub Utara dan Selata...