Kuanggap kau teman hidup
Kau anggap aku teman doang.***
"Hahaha, sumpah demi apa tuh Hafidzah pinter banget. Aduh nggak bisa berhenti ketawa. Help lah." Dinda yang menceritakan mengenai Hafidzah yang menduganya sebagai non-muslim pun hanya sebal melihat Anetha yang terbahak karena ceritanya.
"Sialan sampeyan."
"Lucu ih, bener omongannya. Muka lo nggak ada tampang bae bae kayak ukhti. Kalau Hafidzah kan jelas keliatan pakai hijab aja yang panjang-panjang."
"Apaan panjang, itu tadi aja di ikat ke belakang."balas Dinda.
"Itu pas lagi kerja dodol, masak iya dia di IGD pakai yang panjang-panjang gitu apa nggak ketarik tuh kerudung?"
"Baguslah kalau ketarik, biar tahu rasa." jawab Dinda sebal.
"Edan."
"Tauk ah, puyeng gue ngomong sama lo." ucap Dinda dan memilih pergi meninggalkan Anetha di ruangannya. Dinda pun memilih ke ruang pegawai agar dirinya bisa tidur disana.
Sebenarnya ada tempat tidur untuk dokter, cuma ada pulau-pulau dan harum semerbak bagaikan mawar membuat Dinda jadi malas duluan mau kesana.
Dinda menenggelamkan wajahnya di atas meja, matanya sudah terpejam tapi karena ada seseorang yang meletakkan secangkir kopi diatasnya ia jadi terkejut dan hampir saja terbangun tapi ia urungkan begitu melihat name tag yang terpasang di sneli yang memberikannya kopi panas.
Dr. Rivan A Sp. JP
Dinda berulang kali mencoba untuk tidak tersenyum tapi tak bisa, hingga dirinya ketahuan oleh Rivan karena berpura-pura tidur.
"Bangun, nggak usah pura-pura tidur lo." ucap Rivan dingin seperti biasa.
"Apaan seh kowe?" tanya Dinda yang masih cukup kesal mengingat Rivan tersenyum bersama Hafidzah sementara dirinya tidak, apaan itu.
"Jangan manggil kowe kowe gitu ya."
"Apaan emang lo paham artinya? Sejak kapan lo pernah peduli." Jawab Dinda ketus.
"Terserah lo aja, jangan salah paham lihat gue sama Hafidzah tadi dia cuma anak sahabat papa gue jadi gue harus bersikap baik sama dia." ucap Rivan sambil melihat ke arah lain sementara Dinda hanay ber oh ria. Eh tunggu ada yang aneh nggak sih?
"Oh gitu, sek sek. Maksud lo jelasin gitu apaan?" Dinda sudah berharap lebih saat ini.
"Nggak ada, cuma mau bilang aja." jawab Rivan yang langsung pergi dengan ribuan pertanyaan yang dipikirkan oleh Dinda seorang diri.
Jadi tak apa kan jika Dinda baper?
Baru beberapa jam Rivan tinggal ke IGD karena ada panggilan, Dinda malah sudah nyanyi malah membuat Rivan ingin tertawa melihatnya.
"Butet dipangungsian do apangmu ale butet."
"Damargurilla damardarurat ale butet."
"Damargurilla damardarurat ale butet."
Dari luar Rivan hanya melihat Dinda yang masih tak sadar akan kehadirannya, kalau dibilang Dinda memakai headset itu salah besar. Dinda malah membesarkan suara volume ponselnya sambil menghidupkan lagu butet yang berasal dari kampung halamannya itu. Medan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Doctor Difficult Word
RomanceSekuel dari 🚑 He's My Romantic Doctor 🚑 [End] Judul pertama: Difficult Word Mengisahkan perjuangan cinta dari seorang dokter spesialis Anestesi yang bernama Adinda Nifsihani yang berusaha meluluhkan hati sedingin es layaknya kutub Utara dan Selata...