Part 23

7.8K 589 45
                                    


Jika perjuanganmu tidak dihargai mungkin diammu akan membuatnya menyadari.

***


Tok Tok Tok.

"Masuk aja nggak dikunci." teriak Anetha sambil memperhatikan data pasiennya.

Dinda yang mendengar Anetha mengijinkannya masuk, membuka pintunya dan betapa terkejutnya Anetha melihat kondisi Dinda yang benar-benar kacau.

"LAH LO KENAPA? KUMAT LAGI?" teriak Anertha yang heboh sendiri, bukan menjadi rahasia lagi Dinda menpunyai penyakit asma di antara mereka berempat.

"TAS LO DIMANA BEGO?!" Anetha malah kelimpungan sendiri melihat Dinda yang sudah kesusahan nafas sambil memegangi dadanya.

"R-ruangan... staff." jawab Dinda yang masih berusaha bertahan, rasanya benar-benar seperti tercekik. Dadanya benar terasa sesak, mau berbicara saja susah. Selain diam dan mencoba mengatur nafasnya, hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.

Anetha segera berlari ke ruangan staff mencari tas Dinda dan segera kembali lagi ke ruangannya begitu dengan asal merampas tas Dinda yang terletak disana.

Dinda lalu mengambil inhaler yang berada di tasnya dan menghirupnya, sementara Anetha hanya mengelus-elus punggung Dinda yang sedang memakai inhaler.

Lega rasanya, seperti mendapat oksigen yang benar-benar baru selepas Dinda memakai inhaler nya.

"Lo nggak papa?"

"Nggak papa." jawab Dinda sambil tersenyum, berusaha kuat padahal sedang tidak baik-baik saja.

Anetha memandang ke jendela, pantas saja Dinda kumat diluar sedang hujan deras rupanya. Dinda selalu kumat jika sedang hujan deras seperti ini.

"Itu tangan lo kenapa goblok?!" Dinda melirik lengannya yang sudah mengering, ia hanya tersenyum sementara Anetha segera mengambil kotak P3K nya.

"Bego banget sih jadi orang, udah tahu hujan bukannya ke ruangan gue dulu atau apa kek. Kan untung aja lo datang tepat waktu." Oceh Anetha sambil mengubati luka Dinda, Anetha saja yang melihat luka Dinda menganga lebar sudah ngilu sendiri tapi kenapa juga sedari tadi Dinda hanya diam tanpa meringis sedikitpun? Dinda hanya melamun sambil melihat ke jendela.

Hujan, cocok sekali dengan perasaannya saat ini. Rasanya seperti terwakili.

"Si Rivan lagi dekat ya sama Hafidzah?" tanya Anetha yang berusaha mencari topik, Dinda yang mendengar itu langsung menunduk ia tak mau membahas hal ini rasanya.

"Nggak tahu, nggak peduli. Bukan urusan gue juga." seketika tangan Anetha yang sedang sibuk mengoles betadine di lengan Dinda berhenti kala Dinda mengucapkan itu.

"Kenapa? Bukannya lo suka sama Rivan?"

"Nggak papa," jawab Dinda singkat, Anetha hanya menghela nafas kasar lalu dengan cepat memasukkan kembali obat-obatnya ke dalam P3K.

Setelah meletakkan kembali kotak P3K nya, Anetha lalu fokus dengan temannya yang sedang melamun di hadapannya saat ini.

"Din, kenapa? Cerita aja sama gue." suara Anetha memelan dan Dinda hanya mengangguk lalu menceritakan semuanya tanpa ada yang kurang sedikit pun.

"BRENGSEK, NGGAK ADA OTAK! HAFIDZAH KITA KUBUR HIDUP-HIDUP AJA KUY LAH." Anetha langsung emosi begitu mendengar keseluruhan cerita dari Dinda, Dinda yang mendengar amukan Anetha hanya terkekeh pelan.

"Jangan lah Neth, lagian itu juga hak dia mau dekat sama siapa. Gue nggak bisa ngelarang, cemburu aja nggak ada hak karena bukan siapa-siapa." Anetha meneguk salivanya dan melirik Dinda yang benar-benar kacau, kasihan sekali pikirnya.

The Doctor Difficult WordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang