Part 9

9.3K 654 19
                                    

Jarak menyiksaku karena aku harus bertahan dengan rindu yang tertuju padamu.

***

Nusa Tenggara Barat yang di kenal akan keindahan alamnya yang menakjukban seketika berubah menjadi hal yang mengerikan.

Bangunan rumah penduduk yang hancur terseret ombak pantai dan juga hal-hal lain yang menggenaskan lagi banyak yang mereka lihat. Para korban yang berseru meminta tolong akibat terjebak di bawah pohon ataupun di bangunan rumah mereka sendiri, kondisi nya sungguh miris.

Para petugas PMI dan yang lain juga banyak bolak-balik untuk mencari para korban yang baru setengah mereka temukan.

Begitu beberapa korban di bawa ke tenda Rivan dan rekan-rekannya yang baru sampai pun langsung bergegas menolong mereka. Jumlah dokter yang menjadi relawan disini tak banyak mereka kekurangan tenaga medis.

Belum lagi jika ada korban darurat yang benar-benar membutuhkan peralatan rumah sakit, tentu hal itu menjadi pantangan untuk mereka. Sulitnya akses perjalanan menuju rumah sakit kota membuat mereka harus memilih antara menunggu keajaiban yang mustahil di dapat atau berjuang sekali lagi.

Untuk menggunakan helikopter juga tidak mungkin, kondisi cuaca yang buruk di sertai angin yang masih cukup kencang justru malah membuat semakin sulit.

Dan kali ini hanya dalam beberapa jam saja, sudah harus merelakan beberapa korban yang meninggal. Padahal baru saja di tangani beberapa saat namun mau tak mau harus merelakan.

Seharian penuh Rivan sudah menyelamatkan para korban tsunami, ada yang meninggal dan ada juga beberapa yang selamat. Bajunya saja sudah penuh noda darah dan lumpur.

"Rivan." teriak Hafidzah dan Rivan pun segera datang menghamipirinya.

"Kenapa Dzah?"

"Makan dulu, kita juga perlu tenaga. Tadi aku ambil nasi dua sekalian buat kamu." Hafidzah memberikan sebungkus nasi yang dia ambil saat pembagian makanan tadi hanya saja Rivan yang tak terlalu peduli dengan keadaan sampai-sampai makan saja ia tak ingat.

"Kamu ambil dimana?" tanya Rivan.

"Tadi ada pembagian makanan, kamunya aja yang terlalu sibuk." Rivan hanya tersenyum lalu membuka bungkusan nasi yang di berikan. Terdengar beberapa orang rekan kerjanya yang mengeluh mengenai nasi yang di berikan. Entah ada yang tak suka atau memang tak sudi untuk memakan nasi yang di bungkus padahal semuanya sama saja. Sama-sama nasi, jadi apa bedanya?

Sebelum makan Rivan sempat melirik Hafidzah yang sedang membaca doa dengan khusyuk, Rivan hanya tersenyum saja dan melanjutkan memakan nasi nya dengan lahap.

"Harusnya tuh bersyukur bisa makan dalam keadaan kayak gini, daripada nggak makan apa-apa." cibir Hafidzah yang ternyata ia risih mendengar rekannya terlalu banyak mengeluh.

"Kamu udah sering banget ya jadi relawan kayak gini? Keliatannya santai aja gitu." Rivan mengucapkannya diiringi dengan tawa renyah dan Hafidzah hanya tersenyum lalu mengangguk.

"Kadang sampai berhari-hari kita nggak ada makan, di beberapa negara yang konflik susah cari waktu luang. Kalaupun ada kita selalu was-was sama keadaan, takutnya ada konflik lagi atau ranjau yang sudah tersebar dimana-mana jadi harus ekstra hati-hati."

"Kamu jadi dokter emang karena buat relawan?"

"Bisa di bilang gitu, kenapa aneh ya?" tanya Hafidzah.

"Nggak sih, biasanya kan jadi dokter itu alasannya pengen ngobatin orang sakit . Yah, alasan-alasan lain yang sering di pakai lah."

"Itu juga alasan aku, pengen ngobatin orang sakit tapi jika di bandingkan dengan pasien di sini dengan negara konflik tentu mereka lebih kekurangan dokter kan?" Rivan mengangguk, ia salut dengan alasan Hafidzah. Baru kali ini rasanya menemukan pemikiran seperti Hafidzah.

The Doctor Difficult WordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang