Satu-satunya cara untuk menemukan kebahagiaan sejati adalah dengan mengambil resiko untuk terluka.
***"Enak ya, yang punya rambut pendek," Ayla langsung menoleh begitu mendengar suara pria dan dilihatnya Daffa yang telah duduk di sebelahnya.
Saat ini mereka berdua sedang duduk di depan tenda darurat, dengan cuaca yang cerah karena masih menunjukkan pukul delapan pagi tentu membuat siapa saja menikmatinya.
"Eh Daff." Daffa tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya.
"Kesepian gue nggak ada temen yang asik di ajak ngobrol, pada nggak sefrekuensi semua." Ayla terkekeh pelan mendengar penuturan Daffa barusan.
"Frekuensi dikira fisika kali ah, berteman ya berteman aja kali Daff,"
"Mana bisa begitu Ay, kita berteman juga kan tergantung dari siapa dan sikap orangnya gimana. Kalau bukan pidana dan sikapnya baik kan enak diajak ngobrol."
"Emang disini ada yang pidana?" tanya Ayla yang membuat Daffa menghela nafasnya, ia tak menyangka kalau Ayla akan sama seperti Dinda yang kelewat lemot.
"Bercanda kali Daff, jangan serius-serius banget kita ke KUA aja kalau mau serius." Ucapan Ayla tentu membuat Daffa tersontak kaget, kepalanya sudah menghadap ke arah Ayla yang tersenyum kepadanya.
"Lo ngelamar gue nih?"
"Nggak lah astaga, gila aja turun kodrat kaum hawa."
"Emang kaum hawa nggak boleh nembak cowok duluan?" tanya Daffa yang begitu heran dengan gengsinya para kaum cewek, kalau ditanya seperti tadi pasti akan sudah kodrat atau hukum alamnya cewek itu menunggu.
"Ya nggak, tapi kan emang kodratnya begitu. Mau bagaimanapun juga cewek itu tugasnya menunggu sebelum disuruh juga udah pasti ditunggu, mau lo minta dia nunggu selama seabad pun dia akan sanggup karena begitulah wanita kalau udah punya perasaan. Tapi kalau udah tersakiti satu kali jangan pernah berharap dia akan kembali lagi dengan orang yang pernah menyakitinya berbeda dengan cowok yang gampang sekali pergi dan gampang juga kembali." Daffa hanya diam mendengar penjelasan yang keluar dari mulut Ayla.
"Jadi lo ngode gue buat gue lamar?" Ayla menaikkan sebelah alisnya heran, bisa-bisanya Daffa seperti ini sama sekali tak bisa di ajak bercanda semuanya di anggap serius.
Daffa yang melihat ekspresi wajah tak enak dari Ayla pun tertawa, candaan Ayla tentu saja ia lontarkan kembali.
"Kenapa ketawa? Udah gila?"
"Alhamdulillah masih waras neng, gue tadi cuma bercanda aja." jawab Daffa pada Ayla yang terlihat kesal.
"Oh taulah,"
"Gue minta maaf." Ayla yang mendengar itu tentu saja kaget, tak ada angin tak ada hujan, tak ada salah juga kenapa minta maaf?
"Lo nggak usah minta maaf deh Daff, buat bercandaan gitu doang mah kenapa harus dipermasalahkan?"
"Bukan soal itu."
"Jadi?" tanya Ayla, tampak wajah Daffa yang seperti ragu untuk mengatakannya. Terdengar jelas dari suara dan ekspresi wajahnya.
"Sebelum kita berangkat kesini, gue minta maaf buat lo marah soal gue numpahin kopi dan gue-"
"Nggak papa, nggak usah dibahas lagi." ucap Ayla yang langsung memotong ucapan Daffa, tampak dari wajah Ayla yang tak mau membahas masalah ini. Raut ketakutan, kemarahan, dan kebencian menjadi satu dalam tatapan dan ekspresi wajahnya saat ini.
"Kenapa memangnya?" Daffa tak bisa menahan rasa penasarannya lagi, apa Ayla punya trauma? Tapi trauma apa? Bahkan Daffa sendiri juga tidak tahu makanya dia tanyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Doctor Difficult Word
RomansaSekuel dari 🚑 He's My Romantic Doctor 🚑 [End] Judul pertama: Difficult Word Mengisahkan perjuangan cinta dari seorang dokter spesialis Anestesi yang bernama Adinda Nifsihani yang berusaha meluluhkan hati sedingin es layaknya kutub Utara dan Selata...