Happy reading!
***
Cesha melambaikan tangannya pada Zevesh saat cowok itu hendak menjalankan mobilnya, setelah dipastikan mobil Zevesh tidak terlihat lagi gadis itu berjalan memasuki rumahnya.
Cesha mengernyit, saat menyadari kedaan rumahnya sangat sepi. "Om, kenapa ngga ada orang? Mereka kemana?" Tanyanya pada seorang bodyguard yang baru saja keluar dari kamar Arthur.
"Nona, tuan dan nyonya sedang berada di kantor. Sementara tuan muda berada di kamarnya," jawabnya yang dibalas Cesha dengan anggukan, "kalau begitu saya permisi nona," lanjutnya.
Cesha menatap pintu kamar milik Arthur yang tertutup, tidak biasanya ia berada di rumah apalagi ini masih terbilang sore hari, biasanya cowok itu pasti selalu pulang tengah malam.
Tangan kanan Cesha bergerak hendak membuka pintu tersebut, namun saat ia samar-samar mendengar Arthur tengah berbicara sendiri ia mengurungkan niatnya. Gadis itu menajamkan pendengarannya, hingga saat satu kalimat yang Arthur lontarkan mampu membuat tubuhnya menegang seketika.
"Siapa?" Gumam Cesha dengan bibir bergetar, air matanya pun tak bisa lagi ia tahan.
Cesha memundurkan tubuhnya dengan pelan, tak henti-hentinya ia menggelengkan kepalanya. Mengusap air matanya dengan kasar, lalu berlari menuju kamarnya dengan cepat.
Gadis itu menutup pintu kamarnya kasar, tubuhnya seketika meluruh ke lantai. Dengan tubuh yang disandarkan pada pintu, ia menangis tersedu-sedu.
"Haruskah sekarang?" Monolog Cesha dengan suara paraunya.
Dengan masih sesenggukan gadis itu menyalakan ponselnya, mencari satu nama yang akan ia hubungi.
Nama dengan tulisan Galen tertera pada layar ponselnya, namun seseorang yang Cesha hubungi itu tidak kunjung mengangkatnya. Berulang kali ia mencoba menghubungi kembali namun tetap sama, ia tak mendapat jawaban.
Seakan teringat sesuatu Cesha menggelengkan kepalanya, "ngga! Jangan sekarang, masih ada waktu. Satu kali ini aja, maaf kalo aku egois."
Ia kembali menghubungi seseorang, tangannya yang sedang memegang ponsel pun terlihat masih bergetar. Selang beberapa detik seseorang yang ia hubungi mengangkat panggilannya, gadis itu pun menghembuskan napasnya.
"Paman, bisa kita bertemu sebentar? Ada yang ingin Cesha katakan pada paman."
***
Fabio menatap dua batu nisan di depannya, dari kedua matanya jelas sekali ada sorot kerinduan yang terpancar. Laki-laki itu berjongkok, lalu mengusap kedua batu nisan tersebut dengan pelan.
Walaupun sedari tadi ia hanya diam, namun tidak ada yang tahu jika sedari tadi ia tengah berbicara banyak hal di dalam hatinya. Laki-laki yang dikenal selalu humoris di manapun itu ternyata memiliki kehidupan yang sangat berat.
Sedari kecil, ia sudah ditinggalkan kedua orang tuanya. Hidupnya sedari dulu hanya berdua dengan kakeknya, tidak ada lagi keluarga yang ia miliki selain kakeknya. Sebab setelah kematian kedua orang tuanya, keluarganya yang lain seakan menjauhi dirinya.
Fabio berdiri, lalu ia menaburkan mawar merah di kedua makam orang tuanya. Begitu selesai menaburkan bunga, Fabio mengecup kedua batu nisan tersebut.
"Mom, Dad, Fabio pamit pulang," pamitnya. Ia lalu bergegas menuju motornya yang ia parkirkan tidak jauh dari area makam tersebut.
Drtt...
Getaran ponsel yang ia taruh di saku celana, menghentikan langkahnya. Panggilan dengan nama Edgard terpampang di layar ponsel tersebut, dengan cepat ia mengangkatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUMINESCENCE
Teen FictionZevesh tegaskan gadisnya itu LUMINESCENCE untuknya. Zevesh percaya bahwa poros hidupnya hanya berpusat pada gadisnya. Zevesh berani bersumpah bahwa tak ada yang lebih berharga daripada gadisnya di dunia yang fana ini. Gadis Zevesh segala-galanya un...