Vote kalian sangat berarti!
***
Senin, hari yang paling dibenci oleh sebagian orang. Bukan tanpa alasan, karena di hari ini, aktivitas terasa begitu padat, entah itu bagi para pekerja maupun kalangan pelajar. Upacara salah satu contohnya, kegiatan ini menjadi momok terbesar bagi sebagian besar siswa-siswi SMA Bagaskara. Mereka harus berdiri dua puluh menit lamanya di bawah terik matahari yang menyengat, menyebalkan.
“Sumpah, Ris, males banget gue kalau upacara,” kata Dela sembari memasang atribut-atributnya. “Kalau aja Rian nggak tugas hari ini, pasti gue udah bolos.”
“Osis yang tugas?” tanya Ayris. Mengingat kata ‘osis’ selalu saja membuat gadis itu teringat dengan Aksa. Terlebih dengan kejadian di restoran kemarin, saat Ayris terpergok men-stalking akun Instagram milik cowok dingin itu.
“Hooh, ntar barisnya di depan aja, ya! Biar gue puas ngeliat Rian-nya!”
“Nggak mau! Kalau kita di depan, kita jadi sorotan guru-guru, nggak bisa ngapa-ngapain.”
“Please ... hari ini aja.“ Dela memasang wajah memelas beserta pupy eyes yang menyertai.
“Gimana ya ... ” Ayris mengibas-ngibaskan rambutnya. “Gue si mau-mau aja tapi ada syaratnya.”
“Traktir cilok Mbak Rose, 'kan?” Dela memutar bola matanya malas.
“Hahaha tau aja lo! Tapi kali ini gue minta traktir dua piring!”
“IYA! LIMA PIRING SEKALIAN NGGAK PAPA KOK! GUE IKHLAS SE-IKHLAS IKHLASNYA!”
“Sans kali ngomongnya! Ngegas mulu, lo!” cibir Ayris. “Ya udah yuk kita ke lapangan sekarang. Udah bel, tuh.”***
Lapangan luas milik SMA Bagaskara sudah dipenuhi oleh lautan manusia-manusia. Seperti yang sudah direncanakan, Ayris dan Dela baris di barisan paling depan. Sumpah demi apapun, ini kali pertamanya Ayris baris di depan saat upacara.
Anak-anak osis pun sudah bersiap dengan tugas-tugas mereka. Aksa, dialah yang menjadi pemimpin upacara hari ini. Sergio sebagai pemimpin barisan paling kanan, sedangkan Rian sebagai pengibar bendera merah putih.
“Yawlohh itu Kak Aksa kenapa tambah ganteng aja,” pekik Dela.
“Somplak lo!” Ayris menoyor pelan kepala Dela. “Gue aduin sama Kak Rian baru tau rasa lo!”
“Sono aduin! Dia nggak bakal percaya sama lo, wlee”
“Liat aja pas gue ketemu dia besok!”
“Terserah!”
Sudah lima belas menit upacara berjalan, dan kini kaki Ayris sudah mulai pegal-pegal. Juga perutnya yang terasa sakit, mungkin efek karena tadi pagi gadis berkucir satu itu belum sarapan.
“Muka lo pucet banget, Ris. Lo nggak papa, 'kan?” Dela beribisik di dekat telinga Ayris.
“Perut gue sakit banget sumpah!”
Spontan, tangan Dela memegang kening Ayris yang memang terasa hangat. “Gila panas banget! Kita izin ke UKS aja, yuk?”
“Nggak usah, bentar lagi juga selesai kan .... ”
“Yakin?” tanya Dela yang dibalas anggukan kecil oleh Ayris.
Lima menit kemudian, upacara selesai. Sekarang, sang pemimpin upacara hanya perlu membubarkan barisan. Cowok berahang keras itu membalikkan badannya yang semula menghadap ke tiang bendera menjadi berhadapan dengan seluruh peserta upacara.
Tak sengaja, bola mata emerald milik Aksa berpapasan dengan bola mata hitam legam milik Ayris. Kontak mata seperkian detik itu terlepas karena ...
Brugg ...
Ya, tubuh mungil Ayris terhuyung ke rerumputan, gadis itu pingsan.***
Ayris memijit keniningnya yang terasa nyut-nyutan. Gadis berpipi chubby itu berusaha mengingat kejadian demi kejadian yang membuatnya harus berakhir tak berdaya di ranjang UKS ini. Ah iya, dia pingsan saat upacara tadi. Dengan pandangan yang masih samar-samar, gadis itu melihat sekelilingnya. Terlihat seorang cowok berpostur tinggi yang berdiri sembari mengelus lembut puncak kepala Ayris.
“Kak Aksa?” beo Ayris.
“Kok Aksa sih, Ris? Gue Gio, Sergio.”
Ayris mengucek-ngucek matanya—menyetabilkan pandangannya. Dan benar saja, cowok yang di dpannya itu Sergio bukanlah Aksa seperti halusinasinya. Wait, kenapa Ayris berharap jika yang sedang menemaninya dan mengelus puncak kepalanya sekarang adalah Aksa?
“Ah–sorry, Kak,” lirih Ayris.
“No prob,” jawab Sergio dengan nada yang sulit diartikan. Antara memaklumkan dan kesal, Ayris tak bisa menyimpulkannya.
“Btw makasih banget, Kak, udah mau nemenin dan jagain gue di UKS.”
Sergio menyunggingkan senyum manisnya. “Santai aja kali, Ris. Oh ya, minum dulu nih.” Cowok berjakun itu menyodorkan segelas teh hangat.
Gadis dengan rambut berkucir satu ke belakang itu tampak kesusahan untuk bangun dan mengangkat tubuhnya. Sergio yang mempunyai tingkat kepekaan di atas rata-rata pun akhirnya membantu Ayris. Tangan kekar cowok itu menangkup tubuh bagian belakang Ayris, bersamaan dengan itu pula manik matanya menelusup ke bola mata hitam legam milik Ayris. Sergio menatap lekat-lekat bola mata itu, oke itu terlihat sangat canggung bagi Ayris.
“Kak Gio ngapain sih ngeliatin gue kaya gitu,” batin Ayris.
“Ehem. Ehem.” Deheman seseorang berhasil memutuskan kontak mata seperkian detik itu. “Kayaknya gue salah waktu, deh,” ledek Dela seraya terkekeh.
“Apaan sih, Del. Gajelas lo!” balas Ayris kesal.
“Iya, gue cuman mau bantu Ayris bangun kok.” Suara sejuk Sergio ikut menyahut.
Lain halnya dengan Dela yang tengah terkesima—ia berbunga-bunga mendengar balasan dari Sergio. Oke, mungkin ini kali pertamanya gadis berambut tergerai panjang itu mendengar suara sang ketua osis dengan jarak yang dekat.
“Inget Rian, inget Rian,” batin Dela berusaha menyadarkannya dirinya.
“Malah bengong nih kutil anoa,” heran Ayris.
“Nggak ada yang bengong, ya!”
“Lah itu tadi kalah nggak bengong apaan? Kesambet? “ todong Ayris.
“Udah. Udah. Kok kalian malah jadi berantem sih?” tanya Sergio sambil terkekeh. “Gue ke kelas duluan, ada ulangan fisika pagi ini. Dela, lo jaga Ayris di sini, ya!”
“I—iya siap, Kak,” jawab Dela seperti idiot. Ngomong sama cogan tuh gitu, bawaannya gugup mulu.
“Sekali lagi makasih, Kak. Udah nganterin dan jagain gue di UKS,” kata Ayris.
Sergio tampak bingung, ia menggaruk-nggaruk keningya yang tak gatal. “Sans aja. Yaudah gue duluan.”
Sepeninggal sang ketua osis, Dela membuka suara. Ia berkata, “Ris yang nganterin lo ke sini bukan Kak Gio padahal, loh.”
“Oh, iya kah? Kalau bukan Kak Gio siapa? Elo? Nggak mungkin kan lo kuat gendong gue, Delon.”
“KAK AKSA YANG BAWA LO KE UKS. YAAWLOH DIA TUH SWEET BANGET BELA-BELAIN GENDONG LO KE SINI PADHAL BELUM BUBARIN UPACARA. SAMPE DITEGUR PAK BRAM TAU!”
“Woy anjir! Nggak sekalian pake toa lo ngomongnya, hah!” Ayris menutupi telinganya dengan kedua tangannya.
“Oh iya, lo masih pusing, ya ... sorry Ris gue kelepasan.”
“Hm. Tapi seriusan deh, Kak Aksa yang bawa gue ke sini? Lo nggak lagi halu, 'kan?”
“Ya elah, gue mikir juga kali, pagi-pagi halu.” Dela memutar bola matanya. “Beneran deh, yang bawa lo ke sini itu kak Aksa. Terus berhubung dianya ditanya diceramahin dulu sama Pak Bram, jadi Kak Sergio yang nemenin lo di sini.”
Tidak salah, kan jika beberapa menit yang lalu Ayris berharap Aksa yang ada di sini? Karena memang kenyataannya lelaki itu yang menolongnya.
“Oh.”
Dela tersentak dengan respon sahabatnya yang cukup singkat, padat, dan jelas. Ayris tinggal di planet mana, sih? “Setan. Oh doang? Woy itu cogan pasti lagi capek gara-gara gendongin lo yang body-nya bulet kek ikan buntal, lah di sini lo malah jawab Oh doang? Sungguh, daku terkesima dengan jawaban Anda, Ayris!”
“Please gue lagi sakit ini, bisa nggak lo nggak gila sehari aja?” kata Ayris tak habis pikir.
“Lo yang gila Ayris Pelita Ayudya, harusnya lo tuh jingkrak-jingkrak udah digendong cowok paling ganteng di Bagaskara, cewek-cewek yang lain aja pada ngiri!”
“Karena gue bukan lo atau cewek-cewek itu. Dan ya, mau seganteng apapun dia, bukan urusan gue!”
“Halah nanti jatuh cinta sama Kak Aksa rasain lo!”
“Nggak mungkin. Kak Aksa itu cuek, dingin, egois bukan tipe gue ba–“
Perkataan Ayris terpotong saat suara bariton itu angkat suara. “Nggak baik gosipin orang pagi-pagi.”***
***
Haloo, ada yang nungguin cerita ini, nggak? Maaf yew lama nggak up! Author-nya lagi sibuk, nih! (Sok sibuk padahal awokawok)
Bijimana dengan part ini? Ehehe.
Jangan lupa vote+commen ya readers-ku tertjintah!
Salam,
Septiana
KAMU SEDANG MEMBACA
ISAK (Completed)
Teen Fiction-Belum direvisi Ketika kita dipertemukan kembali oleh takdir.