Vote kalian sangat berarti!
***
Setelah membawa Ayris ke UKS, Aksa harus kembali lagi ke lapangan. Cowok itu dipanggil oleh Pak Bram—guru BK di SMA Bagaskara.
“Kenapa kamu seceroboh itu, Sa? Kamu tau, hari ini kamu sebagai pemimpin upacara, semua kendali upacara ada di tangan kamu. Tapi liat ... apa yang kamu lakukan? Kamu meninggalkan lapangan sebelum bubarin upacara. Saya kecewa.” Pria berkepala botak itu memasang wajah horror.
“Tapi, Pak, saya meninggalkan upacara karena bantuin siswi yang pingsan. Apa pantas jika saya biar kan siswi itu tergeletak di lapangan?” sela Aksa.
“Bukan begitu caranya, kan sekolah kita punya PMR. Mereka seharusnya yang menolong gadis itu, bukan kamu.”
Gaya bicara Pak Bram sangat berbeda kala berbicara dengan Aksa. Biasanya, jika murid melakukan kesalahan sekecil apapun itu, guru BK itu tak segan-segan membentak dan menghukumnya. Tapi tidak dengan Aksa, nada bicara Pak Bram sedikit melembut. Karena ya, Aksa selalu tampil sempurna, tak pernah melakukan kesalahan sekecil apapun itu. Kecuali hari ini.
“Ya. Saya ngaku salah, saya nggak akan ulangi lagi kesalahan itu.”
“Iya, saya percaya sama kamu. Ya udah kamu bisa kembali ke kelas untuk ikut KBM.”
Aksa mengehla napasnya setelah mendengar jawaban dari Pak Bram. Lantas, ia pun beranjak pergi ke kelasnya. Di sepanjang perjalanan cowok bermata tajam itu sibuk berkutat dengan pikirannya. Mengapa ia seceroboh ini? Mengapa ia membantu Ayris? Dan anehnya lagi, mengapa sekarang ia juga mencemaskan keadaan gadis itu?
“Gue cuma mau dapet simpati dari Ayris lalu memenangkan taruhan dari Sergio. Nggak lebih.” Aksa meyakinkan dirinya sendiri.
Saat melewati UKS, indra pendengarannya tak sengaja mendengar orang yang tengah berbincang-bincang. Ah, namanya juga dibawa-dibawa, pasti pelakunya seorang cewek. Tukang gosip.
Wakil ketua osis itu pun menghentikan langkahnya. Di depan pintu UKS dia berkata, “Nggak baik gosipin orang pagi-pagi.”
Dua cewek penghuni UKS tersebut membelakakkan matanya. Apalagi dengan gadis yang Aksa ketahui namanya—Dela, gadis itu tampak sangat gugup.
“Ris gue nggak kuat, lo aja ya yang hadepin kak Aksa ...” lirih Dela yang masih bisa terdengar oleh Aksa.
Dela yang semula duduk di ranjang Ayris, berjalan hati-hati melewati Aksa yang berada di pintu. Gadis berambut hitam legam itu meninggalkan UKS.
Setelah itu, Aksa menyeret kakinya ke dalam UKS. Mata tajamnya menatap intens Ayris yang masih terletak tak berdaya di ranjang. “Udah baikan?”
Terdengar sangat konyol. Aksa tak tau mengapa pertanyaan itu melesat begitu saja dari mulutnya. Mengapa juga ia sangat mengkhawatirkan keadaan gadis yang tidak penting bagi hidupnya? Masa iya dia suka? No! Aksa melakukan ini hanya untuk memenagkan taruhan dari Sergio.
Di depannya, Ayris tampak gelagapan, “U—udah kok, Kak.”
Aksa hanya be-oh-ria.
“Kenapa kak Aksa masih di sini? Nggak masuk kelas kah?" Ayris bertanya.
“Mau nungguin lo.”
KAMU SEDANG MEMBACA
ISAK (Completed)
Fiksi Remaja-Belum direvisi Ketika kita dipertemukan kembali oleh takdir.