🎧 Mulmed : Here I am Again - Yerin Baek
Vote kalian sangat berarti!
***
Begitulah takdir. Sebuah plot twist yang sulit untuk ditebak. Kodratnya kita sebagai manusia, ya cuma bisa ikutin alurnya aja.
***Semerbak bunga kamboja khas tempat pemakaman, menelusup pada indra pencium milik Aksa dan Sergio. Di depan sebuah nisan, kedua kakak beradik itu tak henti-hentinya menabur bunga sembari memanjatkan doa.
Aksa mengambil kacamata hitam yang terapit pada kerah bajunya, lalu ia pun memakainya. Selain melindungi matanya dari matahari yang menyengat, kacamata itu berguna untuk menyembunyikan air mata yang tak kuasa ia bendung.
Yang pergi tak akan kembali lagi. Semoga kau tenang di sana.
"Lo kangen sama dia, ya? Sama, gue juga," tukas Sergio memecahkan keheningan.
"Kalau boleh milih, harusnya gue yang mati aja."
"Nggak boleh ngomong gitu ah, nggak baik."
"Gue penyebab kematiannya," tutur Aksa sambil tersenyum smirk. "Jahat banget gue, 'kan?"
"No, jangan berpikir seperti itu, Sa. Ini udah menjadi takdir Tuhan." Sergio menepuk pelan pundak Aksa. Sementara Aksa hanya menunduk--memandangi tanah kuburan yang lumayan lembab.
"Lo nggak benci gue gitu?"
Sergio menolehkan kepalanya, "For what?"
"Menghilangkan ibu kandung lo dari bumi."
"Berapa kali lagi gue harus bilang? Kecelakaan itu bukan salah lo. Karena sejatinya, jodoh, rezeki, dan maut udah direncanain oleh Tuhan, bahkan sebelum kita lahir."
"Emang, sih. Tapi, kalau waktu itu gue nggak ngotot nyuruh mama Viona untuk nemenin gue wisudaan, kecelakaan itu pasti nggak akan terjadi." Aksa memberikan jeda pada ucapannya. "Dan sekarang, dia pasti lagi bahagia karena tau anak kandungnya masih hidup."
"Hm, mungkin. Kalau gue boleh jujur nih ya, gue pengen banget liat wajah mama sekali lagi." Oh astaga, tadinya Sergio tidak ingin menangis. Namun, kini air matanya justru berderai. "Sepuluh tahun terpisah dari orangtua, lalu saat gue kembali, gue harus menerima kenyataan bahwa mama udah meninggal. Rasanya ... sakit banget. Sakit, Sa...."
"Maaf." Aksa jadi semakin merasa bersalah.
Sergio tidak menjawab, ia masih ingin menumpahkan air matanya. Tidak salah, 'kan jikalau cowok itu menangis? Karena ini cara satu-satunya agar Gio dapat melepas rindu. Kerinduannya dengan sosok ibu.
"Gue nggak salah denger? Lo bilang apa tadi? Maaf? Lo minta maaf sama rival lo sendiri? Wahaha ... nggak jatuh harga diri lo, Sa?" kata Sergio berusaha mencairkan suasana.
"Gue emang salah, banyak banget kesalahan gue malah," lirih Aksa. "Bener kata lo di ruang osis waktu itu, gue tuh cuma perebut. Perebut atas kebahagiaan lo."
Sergio memukul pelan lengan Aksa. "Astaga, becanda doang itu, mah. Nggak usah diambil hati."
Aksa tersenyum singkat sebagai jawaban. Kemudian ia kembali berkata, "Sahabat, musuh, sodara. Lengkap banget perasaan."
"Itu tandanya takdir mau kita selalu bersama."
"Hahaha ada-ada aja lo." Keduanya pun tertawa renyah.
Aneh sekali bukan? Dahulu Aksa dan Sergio saling beradu jotos karena hal sepele. Tetapi lihatlah sekarang, bagaimana takdir menyatukan mereka dan membuat keduanya berdamai.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISAK (Completed)
Teen Fiction-Belum direvisi Ketika kita dipertemukan kembali oleh takdir.