Chapter 37 °Isak

1.6K 124 37
                                    

🎧 Mulmed : Bagaimana Bisa - Jaz

Vote kalian sangat berarti!

***

Mau kamu sebenarnya apa? Tolong, jangan menyiksaku dalam rasa ambigu. Menempatkanku dalam status abu-abu. Lalu meninggalkanku dalam sembilu.

***

Berubah?

Seiring dengan perkembangan zaman, perubahan memang akan selalu terjadi. Entah itu perubahan menuju jalan yang lebih baik, atau justru perubahan yang menjerumuskan pada jalan sesat. Hal itu sudah menjadi hukum alam, tidak bisa diganggu gugat.

Namun, bukankah sebuah perubahan pasti memiliki alasan? Alasan yang logis, yang dapat diterima akal. Poin penting itulah yang kini sedang Ayris cari-cari--alasan mengapa sikap Aksa akhir-akhir ini berubah. Berubah 180 derajat.

Ya, kekasihnya perlahan membentangkan jarak dengannya. Ketika tanpa sengaja mereka bertemu, Aksa kerap sekali bersikap abai. Bersikap dingin seperti saat mereka belum pacaran.

"Lo kenapa, Kak? Ada masalah? Cerita sama gue." Entah sudah berapa kali kalimat itu keluar dari mulut Ayris untuk menyadarkan pacarnya yang keliru. Beribu sayang karena Aksa tetap kekeh pada pendiriannya--menghindar dari Ayris. Tak segan-segan, mulut pedasnya ikut andil. Bitch, Ashole, idiot, jalang, cewek murahan. Umpatan-umpatan itu melucur begitu saja tanpa pertimbangan.

Sakit, perih, kecewa, dan marah. Perasaan itu menyatu-padu dalam diri Ayris. Titik terlemahnya, ia sampai jatuh sakit karena memikul beban pikirannya itu. Bahkan, sudah tiga hari ini Ayris dirawat di rumah sakit setelah divonis dokter mengidap tipes.

Raganya memang sakit, tapi percayalah hatinya jauh lebih sakit.

Dan sekarang, gadis berpipi chubby itu memutuskan untuk mengakhiri masa perawatannya di rumah sakit. Migrain serta flu yang dialaminya sudah jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

"Lo yakin mau pulang sekarang? Muka lo masih pucet."

Ayris tersenyum simpul. "Gue udah lebih baik kok, Kak. Kalau kelamaan di sini, kasihan Bunda ... bayarnya pasti mahal."

"Nggak usah khawatirin biaya, nanti gue yang bayarin."

"Hm ... dengan selalu menjaga gue siang-malem di sini, Kak Gio udah terlalu baik. Gue nggak mau ngerepotin lo lagi. Jadi, izinin gue pulang aja, ya?"

"Ya udah, deh. Gue nggak bisa maksa, tapi tetep atur pola makan dan istirahat, ya." Sergio mengelus lembut puncak kepala Ayris.

Pacarnya Ayris itu Aksa atau Sergio, sih? Dunia seolah terbalik karena justru ketua osis itulah yang memberinya perhatian lebih saat Ayris tengah terpuruk. Aksa sendiri? Jangankan memberi perhatian, menjenguk saja dia tidak pernah.

"Iya, Kak," jawab Ayris seadanya.

Usai membereskan barang-barang dan pakaian, Sergio membantu Ayris turun dari brankar. Lalu menuntunnya keluar dari kamar inapnya itu. Sebenarnya, bisa saja Ayris jalan sendiri, namun sikap Sergio terlalu berlebihan. Katanya takut pingsan di tengah jalan. Huft.

"Lo tunggu di sini sebentar, gue mau nebus obat," kata Sergio sambil memperlihatkan resep obat yang telah ditulis sang dokter.

"Oke, jangan lama-lama, Kak." Sergio mengangguk, lalu ia beranjak ke apotek yang letaknya tak jauh dari rumah sakit itu.

Sambil menunggu Sergio kembali, Ayris duduk di kursi panjang yang terletak di depan pintu utama rumah sakit. Merasa kesepian, gadis itu pun berinisiatif memainkan ponselnya.

ISAK (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang