Sinar matahari yang berada di batas garis terbarat cakrawala seakan tak ingin pergi tanpa kesan yang mendalam. Awan-awan yang bentuknya tak beraturan membentuk barisan yang terlihat artistik dan menggoda. Warna biru yang biasanya mendominasi langit di siang hari pun berubah dengan cantiknya. Gradasi warna yang ada di langit begitu sempurna dan berujung dengan warna yang paling tua dibagian paling dekat dengan matahari.
Senja, itulah nama yang biasa orang memanggilnya.
Senja itu punya makna. Dia hanya memberikan keindahan sementara tetapi bisa membuat banyak orang terpukau karenanya. Sama halnya dengan hidup, hidup ini sementara. Ada manis ada pahit, ada senang ada sedih, ada tawa ada tangis, ada susah ada gembira.
Jangan pernah salahkan Tuhan kenapa senja hanya sementara, tetapi tanyakan Tuhan bisakah kita sendiri melewati gelapnya malam yang tidak tahu kemana arahnya?
Senja itu mengajarkan kita satu hal yaitu, perpisahan. Yang datang akan pergi, yang lewat akan berlalu, yang terbit akan tenggelam, yang bertemu akan berpisah. Itulah proses abadi di dalam kehidupan yang tidak akan bisa di hindarkan.
Debur ombak terdengar lirih karena angin yang membawanya ke pantai tidaklah besar. Bebatuan dan pasir terlihat berkilauan memantulkan cahaya senja yang damai itu.
Seorang lelaki terus menggandeng kuat jemari gadis cantik tanpa melepasnya sedetikpun. Mereka berjalan menyusuri tepi pantai berduaan. Sepanjang perjalanan keduanya nampak sangat bahagia.
Dira menghentikan langkahnya dan melepaskan jemarinya dari tangan Arvin. Direntangkan kedua tangannya membuat Arvin yang berdiri dibelakang tubuh mungil itu langsung memeluknya dari belakang. Arvin mempererat pelukannya seolah ia tidak mau kehilangan Diranya.
"Gue sayang sama lo Ra" bisik Arvin di telinga Dira. Dira tersenyum manis mendengar ucapan itu, ucapan yang mampu membuat jantungnya berpacu lebih cepat dengan pipi yang sudah merona.
"Sebagai sahabat" lanjut Arvin yang membuat senyum manis itu perlahan memudar seolah ada yang berdenyut nyeri saat mendengar lontaran ucapan tersebut.
Walau begitu Dira tetap mempertahankan senyumnya, senyum yang terlihat begitu manis dimata semua orang, tetapi tidak dengan dirinya itu adalah senyum hambar yang ia rasakan.
Ia pandai menyembunyikan senyum hambar itu, hingga membuat semua orang tahu bahwa ia baik-baik saja tetapi tidak untuk lubuk hatinya yang menjerit kesakitan.
Senja menjadi saksi bisu perasaan Dira yang baru ia sadari, perasaan suka terhadap lelaki yang menyandang sebagai sahabatnya ini.
Ia ingin berteriak mengungkapkan betapa besar rasa itu padanya. Tetapi hal itu hanya menjadi khayalannya saja, ia tidak ingin membuat persahabatan yang terjalin sejak dulu hancur karena perasaan yang tumbuh dalam dirinya.
Dira bertekad akan menyembunyikan rasa ini hingga suatu saat Arvin tau akan hal itu. Sakit? Itulah yang sekarang Dira rasakan, ia berharap rasa ini akan selalu ada sekarang, esok dan nanti.
Tetapi bila Tuhan tidak mengijinkan untuk bersamanya tidak apa-apa itu konsekuensi yang harus ditanggung. Yang terpenting ia akan selalu ada untuknya meski alam turut serta menolaknya.
"Gue juga sayang sama lo Vin" sahut Dira sambil terkekeh, kekehan pilu menahan tangis yang ia rasakan.
"Lebih dari seorang sahabat" sambung Dira dalam hati.
"Jalan-jalan lagi yuk!" ajak Dira penuh harap agar ia bisa melupakan suatu hal yang membuatnya sakit.
"Yaudah naik! Gue gendong lo sambil jalan-jalan disekitar sini" Arvin membungkukan badan dihadapan Dira. Arvin kembali menegakan badannya saat Dira sudah di punggungnya. Ia mulai melangkah perlahan dengan Dira yang melingkarkan tangan dilehernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARDIRA [SELESAI]
Teen FictionTentangku tentangmu sempat tertulis di kertas yang sama. Namaku namamu pernah Tuhan satukan dalam skenario yang kita perankan. Rasamu rasaku pernah saling mengisi kekosongan. Meski tak pernah terucap, namun bisa dirasakan. Bukankah semua itu menyiks...