Chapter 34

204 18 5
                                        

Di pagi yang cerah ini jadwal pelajaran olahraga untuk kelas Arvin, semua siswa-siswi sudah berkumpul di lapangan, sambil menunggu guru yang mengajar datang membuat mereka menyibukan diri dengan bergosip ria bagi anak perempuan dan bermain sepak bola bagi anak laki-laki.

Berbeda dengan Dira yang hanya terdiam dan memandang kosong ke arah depan. Ia hanya duduk sendiri tidak ada satu pun teman kelasnya yang mau menemani dirinya.

Dia tahu mereka semua enggan untuk berdekatan dengan dirinya, ada sedikit rasa sakit saat melihat mereka yang tidak mau berada di dekatnya, tetapi Dira mencoba untuk mengabaikan itu semua. Itu hak mereka untuk menjauh darinya atau tidak. Ia tidak memaksa.

Terik matahari yang sudah muncul dari arah timur memancarkan sinarnya, padahal hari ini masih terbilang cukup pagi. Walaupun terik matahari tersebut membuat kepala Dira sedikit pusing ia tidak memperdulikannya, ia berpikir mungkin rasa pusing di kepalanya akan hilang dengan sendirinya.

Bola mata cokelat muda milik Dira mengarah pada seorang laki-laki yang kini tengah bersorak gembira karena berhasil mencetak gol ke gawang lawan.

Dulu saat Arvin belum menjauh darinya, Dira selalu ada disana duduk dipinggir lapangan dekat dengan posisi Arvin. Dulu juga setiap kali Arvin memenangkan permainannya, dia akan berlari ke arahnya sambil memeluk erat tubuhnya, tetapi sekarang bukanlah dulu.

Dira hanya berharap semoga semua sahabatnya bisa kembali lagi padanya, ada rasa rindu di hatinya saat kenangan bersama mereka terlintas dalam benaknya. Ingin rasanya ia bisa memutar waktu dan kembali ke masa itu, mungkin saja hidupnya tidak akan seberat ini. Dira menghela nafas dalam, ini semua memang sudah menjadi takdirnya, yang bisa ia lakukan adalah menjalani takdir ini dengan ikhlas. Ini mungkin cobaan dari Tuhan untuk membuat dirinya menjadi seorang gadis yang kuat.

Bunyi peluit dari seseorang membuat Dira sadar dari lamunannya, ternyata pak Heri selaku guru olahraga yang mengajar di kelasnya sudah datang membuat semua murid segera berdiri dan menghampiri guru tersebut. Mereka mulai membuat barisan sendiri-sendiri dengan temannya, tetapi tidak dengan Dira yang hanya sendiri di barisannya.

"Selamat pagi anak-anak"

"Pagi pak" jawab semua murid.

"Hari ini kita masuk ke materi bola basket, sebelum ke materinya kita pemanasan terlebih dahulu. Untuk anak laki-laki lari keliling lapangan sebanyak 10 kali dan untuk yang perempuan cukup 5 kali saja"

"Yahh pak, masa anak laki-laki 10 anak perempuan 5, gak adil dong pak" protes Davi pada pak Heri.

"Betul tuh pak, lapangan ini kan besar pasti capek kalo larinya 10 kali" sahut Tomi.

"Mending disamain aja pak sama anak perempuan, jadi anak laki-laki larinya cuma 5 kali" sambung Roy.

Pak Heri yang mendapat protesan dari anak muridnya menggelengkan kepalanya. "Lari 10 kali atau bapak tambah lagi menjadi 20 kali!"

"Eitsss... Jangan dong pak, iya deh 10 kali" ucap Arvin.

Semua anak laki-laki menghela nafas pasrah saat mendengar ucapan pak Heri yang akan menambah lari keliling lapangan menjadi 20 kali. Selalu saja seperti ini saat pelajaran olahraga, pasti anak laki-laki yang akan mendapat lari paling banyak. Tidak adil memang.

"Dira, wajah kamu pucat. Kamu sakit?" tanya pak Heri yang tidak sengaja melihat Dira yang terlihat seperti sedang sakit.

Dira yang mendapat pertanyaan dari pak Heri sedikit terkejut, pasalnya tadi saat dirinya akan berangkat sekolah ia sudah menggunakan lipblamnya untuk menutupi wajahnya yang sangat pucat, tetapi ternyata itu tidak ampuh buktinya pak Heri bisa melihat wajahnya yang pucat.

ARDIRA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang