Sebuah mobil terparkir dihalaman rumahnya, membuat Arvin yang baru saja tiba mengernyitkan dahinya. Arvin melepaskan helm full facenya dan berjalan memasuki rumahnya.
Dibukanya knop pintu hingga pintu terbuka sempurna, terlihat seorang wanita paruh baya dan seorang pria paruh baya dengan pakaian khas kantornya sedang duduk di kursi ruang tamu. Membuat Arvin terdiam sesaat lantaran bingung siapa kedua orang yang sedang ada dirumahnya.
Pandangan Arvin tidak pernah lepas dari kedua orang itu ia masih dengan wajah bingungnya, siapakah kedua orang itu lalu mengapa mereka ada dirumahnya, Arvin terkejut saat ada seseorang yang menyerukan namanya.
"Den Arvin" panggil bi Sarti saat melihat tuan mudanya yang sedari tadi masih terdiam diambang pintu.
Arvin melangkahkan kakinya menuju bi Sarti yang telah memanggilnya, ia berjalan sambil terus memandang dua orang yang tidak asing baginya, kenapa mereka mempunyai wajah yang hampir sama dengannya, seolah dirinya adalah hasil perpaduan dari keduanya.
"Mereka siapa bi?" tanya Arvin saat dirinya sudah sampai tepat dihadapan bi Sarti.
Bi Sarti yang mendengar lontaran pertanyaan Arvin tersenyum tipis, sudah saatnya tuan mudanya ini tau siapa kedua orang itu. "Mereka tuan Abraham dan nyonya Arshinta, kedua orang tua aden"
Deg
Jawaban dari bi Sarti membuat dirinya terdiam kaku, kedua orang tuanya kembali? Mengapa baru sekarang mereka kembali lantas kemana saja mereka saat Arvin membutuhkan nya, dan apa ini saat dirinya sudah membenci kedua orang tuanya, mereka hadir kembali?
Waktu memang telah mempermainkan nya, bukan, bukan karena dirinya menentang takdir yang memang seharusnya terjadi. Ia hanya kecewa dengan suatu yang tiba-tiba ini membuat dirinya menelan kenyataan pahit.
Orang tua yang sedari dulu sudah ia benci bahkan sudah dirinya anggap mati kini hadir kembali? Buat apa mereka hadir saat dirinya sudah tidak membutuhkan nya lagi, sebenarnya ia senang tapi rasa kecewa yang begitu besar terhadap mereka membuat dirinya menepis rasa senang itu.
Sedangkan abraham dan shinta yang melihat seorang laki-laki di hadapannya kini tersenyum, ternyata anak yang dulu mereka titipkan ke pembantunya sekarang sudah beranjak dewasa bahkan otot" lengannya yang tertutupi seragam sekolahnya terlihat begitu kekar, wajah yang tampan, bulu mata agak lentik, hidung yang mancung serta bola mata yang berwarna cokelat terang yang merupakan perpaduan dari mereka.
Shinta yang sudah tidak tahan akan kerinduannya pada putranya membuatnya beranjak dari duduknya menghampiri Arvin yang sedari tadi tetap diam sambil memandang dirinya. Suatu hal yang telah lama Arvin rindukan, suatu hal yang membuat hati Arvin menghangat. Shinta memeluk Arvin dengan erat, memeluknya seakan tidak mau melepaskan. Arvin terdiam mematung, sungguh ia sangat terkejut bahkan dirinya tidak membalas pelukan itu. Dan dibelakang Abraham yang tersenyum lebar kearah istri dan anaknya.
"Arvin maafin mamah sayang" lirih Shinta.
Terdengar suara isakan yang terdengar penuh penyesalan, membuat hati Arvin yang mendengarnya berdenyut nyeri. Ingin rasanya ia membalas pelukan dari orang yang selama ini ia rindukan dan memaafkannya. Tetapi egonya lebih menguasai dirinya.
Setelah itu hal yang tidak pernah Arvin pikirkan begitu saja terjadi. Ia mendorong tubuh Shinta, membuatnya jatuh terduduk dan meninggalkan kedua orang tuanya. Rasa penyesalan menghantui dirinya yang sudah mendorong wanita yang telah melahirkannya, tetapi egonya yang menguasai dirinya meski tadi hatinya terus menolak.
Abraham yang melihat istrinya terjatuh langsung menghampirinya, ia memandang sendu putranya yang pergi meninggalkan mereka. Ini memang kesalahannya yang sudah meninggalkan Arvin sejak masih bayi, andai waktu bisa diulang dirinya tidak akan melakukan hal terbodoh yang tidak pernah ia bayangkan sampai membuat putranya tidak mengenali ia dan istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARDIRA [SELESAI]
Teen FictionTentangku tentangmu sempat tertulis di kertas yang sama. Namaku namamu pernah Tuhan satukan dalam skenario yang kita perankan. Rasamu rasaku pernah saling mengisi kekosongan. Meski tak pernah terucap, namun bisa dirasakan. Bukankah semua itu menyiks...