Dira terus menekan bel rumah Arvin yang tak kunjung dibuka, sudah hampir 5 menit tetapi tidak ada tanda-tanda orang didalam akan membukakan pintu. Hingga ia mendengar sahutan dari dalam dan pintu terbuka memperlihatkan wanita paruh baya yang sangat ia kenali.
"Astaga bibi, aku kangen banget sama bibi lama gak main kesini hehe" ucap Dira kepada bi Sarti sambil cengengesan.
"Bibi juga kangen sama non Dira, kenapa sekarang jarang main?" tanya bi Sarti.
"Biasa bi tugas sekolah banyak" ujar Dira tersenyum.
"Arvin ada kan bi?" lanjut Dira bertanya.
"Ada dikamarnya non, mau bibi antar?" tawar bi Sarti sambil menyuruh Dira untuk masuk.
"Gak usah bi, Dira ke atas dulu yah" pamit Dira.
Dira berjalan menuju ke lantai atas dimana kamar Arvin berada, Dira mengedarkan pandangan nya diseluruh rumah, tidak ada yang berubah, pikirnya.
Sesampainya ia langsung membuka knop pintu kamar Arvin dan terlihat seorang laki-laki yang masih bergelung dibawah selimut membuat Dira yang melihat berdecak kesal.
"ARVIN BANGUN!!" teriak Dira tepat di telinga Arvin membuat sang empu langsung terlonjak kaget.
"DIRAA BERISIK BEGO" teriak Arvin tak kalah nyaring membuat Dira cekikikan melihat Arvin dengan wajah bantalnya.
"Awas yah lo gue bales!" lanjut Arvin dengan nada mengancam.
"Huwaaa bibi Arvin ngancem Dira!" Dira langsung berlari keluar kamar sebelum ia terkena balasan oleh Arvin.
Serasa kerongkongannya mulai kering membuat Dira melangkahkan kakinya ke dapur untuk segera minum. Dira langsung menenggak habis air yang ia minum, saat akan menutup pintu kulkas Dira dikejutkan oleh seorang wanita paruh baya seumuran bundanya. Wanita itu cantik serta wajahnya yang hampir atau bahkan sangat mirip dengan Arvin, dari mulai mata, hidung hingga bulu mata yang agak lentik. Apakah, Dira menggelengkan kepalanya ia tidak boleh berpikiran yang tidak-tidak.
"Kamu kenapa nak?" tanya wanita paruh baya itu yang mengejutkan Dira untuk kedua kalinya.
"Ehh enggak tan" ucap Dira tersenyum canggung.
"Kamu kok bisa masuk rumah ini?" pertanyaan yang dilontarkan wanita itu membuat Dira sedikit gugup lantaran ia baru pertama kali melihat wanita tersebut disini.
"Iya tan, karna saya sudah terbiasa main disini dari dulu" ucap Dira dengan hati-hati ia takut ada salah dalam bicaranya.
"Emm tante siapanya Arvin?" lanjut Dira bertanya.
"Tante mamahnya Arvin, nama tante Shinta" ucapan Shinta membuat Dira kembali terkejut, ternyata benar orang tua Arvin sudah kembali.
"Nama kamu siapa nak?" Shinta bertanya pada Dira.
"Saya Dira tante, sahabatnya Arvin" ucap Dira tersenyum tulus.
"Berarti Dira tau dong gimana Arvin dulu" ujar Shinta, dan diangguki oleh Dira.
"Dira boleh ceritain awal pertama kamu kenal sama Arvin, dan bagaimana Arvin dulu?" lanjut Shinta bertanya , setelah mereka sudah sampai di ruang tamu.
"Dulu awal pertama kali Dira ketemu sama Arvin di taman, Dira ngeliat dia sendirian dan menangis disana tanpa ada orang yang nemenin Dira nyamperin Arvin karena merasa kasihan, pikir Dira mungkin dia butuh teman makanya Dira samperin. Terus bunda datang nanya kenapa Arvin nangis dia jawab kalo dia rindu sama mamah papahnya, saat bunda tanya dimana orang tuanya Arvin bilang dia gak tau mamah papahnya dimana, sejak saat itu Dira mulai ajak Arvin untuk berteman sama Dira dan sampe sekarang Arvin sama Dira udah jadi sahabat. Sebenarnya Arvin itu rapuh tante dia butuh sandaran untuk mencurahkan keluh kesahnya dia kesepian makanya Dira berusaha buat selalu ada saat Arvin butuhin Dira, Arvin selalu bilang sama Dira bahwa dia ingin mendapatkan kasih sayang orang tuanya bahkan dia rela jadi orang miskin tapi kasih sayang selalu dia dapatkan, dia tidak butuh harta atau uang yang Arvin inginkan hanya satu yaitu kasih sayang orang tuanya" penjelasan Dira membuat Shinta sangat terpukul ia menyesal dulu telah meninggalkan putranya seharusnya ia tidak berbuat hal yang membuat putranya menjauh darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARDIRA [SELESAI]
Fiksi RemajaTentangku tentangmu sempat tertulis di kertas yang sama. Namaku namamu pernah Tuhan satukan dalam skenario yang kita perankan. Rasamu rasaku pernah saling mengisi kekosongan. Meski tak pernah terucap, namun bisa dirasakan. Bukankah semua itu menyiks...