Flashback On
Di sebuah taman terlihat seorang anak laki-laki berusia lima tahun sedang memandang sendu kearah satu keluarga yang nampak bahagia, ia iri melihat itu semua dirinya tidak pernah merasakan hangatnya sebuah keluarga.
Saat itu, Arvin kecil hanya ingin tahu bagaimana rasanya mendapat kasih sayang orang tua nya. Selama ini ia selalu sendirian, hanya sepi yang selalu menemani nya saat ini. Tidak ada kebahagiaan yang pernah ia rasakan, hidupnya terasa sunyi hanya bi Sarti pembantu nya yang ia punya.
"Mah, Pah Arvin rindu" gumam Arvin sendu.
Sakit rasanya saat dirinya melihat pemandangan itu, tetapi mau bagaimana lagi ia tidak bisa apa-apa. Dan ia hanya bisa merundukan kepala nya sambil melihat sepatu nya. Ia rapuh, mati-matian dirinya menahan tangis nya tetapi tidak bisa.
Tetes demi tetes air mata nya pun jatuh, bahkan sekarang air mata nya semakin deras mengalir di pipinya isak tangis pun terdengar pilu. Ia menangis sendirian di bangku taman itu tanpa adanya orang yang mengetahui.
Kenapa ini semua tidak adil? Apa salahnya? Mengapa orang tua nya pergi? Apa mereka tidak menginginkannya? Lalu kenapa dirinya harus dilahirkan.
Untuk mendapat perhatian dari mereka rasanya tidak mungkin, bahkan memeluk nya dan berkata kalau mereka menyayangi nya pun bahkan tidak pernah. Mereka memang tidak pernah menerima dirinya ada.
Tiba-tiba saja seorang gadis kecil menghampiri nya dengan raut wajah bingung nya, melihat anak laki-laki dihadapannya sedang menangis. Sedangkan yang dipandangi nya tidak menyadari kehadiran nya.
"Kamu kenapa menangis?" tanya gadis kecil disamping nya.
Arvin yang mendengar itu menoleh, gadis itu sangat cantik dengan mata cokelat muda, rambut nya hitam dibawah bahu dengan poni lucu sampai alis, dan pipi nya yang tembem.
"Gapapa" ucap Arvin lirih.
Gadis kecil yang melihat anak laki-laki tersebut mengerutkan dahi bingung, kenapa dengan dia, ditanya cuma dijawab seperti itu.
"Dira, lagi ngapain?" tanya seorang wanita paruh baya seraya menghampiri putri nya.
"Ini bun Dira lihat dia lagi nangis, makanya Dira samperin"
Wanita itu tersenyum lalu berjongkok sambil menatap Arvin. "Kamu kenapa menangis disini?"
"Aku rindu mamah sama papah tante"
"Emang mamah sama papah kamu kemana?"
"Aku gak tau"
Ambar merasa kasihan dengan anak kecil di depan nya ini. Ya wanita itu Ambar bunda Dira. "Nama kamu siapa?"
"Arvin" ucap nya dengan suara serak.
"Oh kenalin, aku Dira, dan ini bunda aku Ambar" ujar nya sambil tersenyum riang.
Ambar yang melihat putri nya tersenyum. "Kamu jangan nangis lagi ya" ucap bunda Ambar sambil menyeka bekas air mata Arvin. "Kamu bisa kok panggi tante, bunda"
"Bun-da?" ucap Arvin ragu sekaligus senang.
"Mulai sekarang anggap aja bunda itu mamah kamu yah sayang, jangan sedih lagi kan sekarang kamu sudah ada bunda sama Dira"
Arvin yang mendengar ucapan Ambar langsung memeluk nya kencang, Ambar yang belum siap hampir saja terjungkal. Dira yang melihat itu tersenyum senang. Arvin terenyuh, masih ada seseorang yang memperdulikan nya dan mau menganggap nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARDIRA [SELESAI]
Dla nastolatkówTentangku tentangmu sempat tertulis di kertas yang sama. Namaku namamu pernah Tuhan satukan dalam skenario yang kita perankan. Rasamu rasaku pernah saling mengisi kekosongan. Meski tak pernah terucap, namun bisa dirasakan. Bukankah semua itu menyiks...