Dira memasuki rumahnya dengan mata yang agak sembab, ia berjalan dengan tatapan kosongnya hingga sebuah suara tidak membuat dirinya tersadar.
"Diraa" teriak seorang lelaki dari atas tangga.
Kenzo langsung berlari menghampiri Dira dan memeluknya erat, Dira yang mendapat pelukan Kenzo hampir saja terjungkal kebelakang jika saja ia tidak menyeimbangi tubuhnya.
Merasa pelukannya tidak dibalas Kenzo melepaskan pelukannya dan menatap Dira yang kini memandangnya dengan tatapan kosong, ia merasakan ada yang aneh dengan kakaknya ini.
Ia baru sadar saat dirinya menatap Dira dalam ternyata mata gadis itu sedikit sembab, tumben sekali Dira menjadi seperti ini. Beberapa pertanyaan mulai bermunculan di benaknya ia ingin menanyakan sesuatu kepada Dira tetapi melihat kondisinya tidaklah mungkin.
"Kak" panggil Kenzo seraya melambaikan tangannya di depan Dira tetapi tetap saja Dira tidak meresponnya.
"Kak, lo gapapa?" tanya Kenzo menepuk bahu Dira membuat sang empunya tersadar.
"Eh...iya" ucap Dira dengan sedikit linglung, Kenzo dibuat bingung oleh sikap kakaknya yang seperti ini.
"Lo gapapa?" pertanyaan Kenzo hanya dibalas anggukan oleh Dira.
Dira segera berjalan menuju kamarnya, ia tidak ingin adiknya mengintrogasinya. Ia cukup malas untuk menjawab ucapan seseorang, yang ia butuhkan hanyalah sendiri. Mungkin dengan sendiri ia bisa menenangkan hatinya yang masih saja sakit mengingat perlakuan tidak baik oleh sahabat sejak kecilnya.
Baru saja Kenzo ingin menanyakan sesuatu pada Dira harus terhenti saat melihat Dira yang langsung berjalan meninggalkannya tanpa sepatah kata yang membuat ia kurang puas. Sikap Dira yang seperti ini membuat dirinya curiga dan berpikiran negatif, pasti ada sesuatu yang ia tidak ketahui sedang terjadi.
Ia kasian melihat kakaknya yang akhir-akhir ini jarang sekali menunjukan raut bahagianya yang ia lihat hanyalah diam, tersenyum, tetapi bukan senyum penuh kebahagian hanya senyum yang mampu membuat dia seolah baik-baik saja, dan melamun.
Meski dalam masalah apapun pasti Dira akan selalu ceria tanpa menunjukan raut wajah murungnya, tetapi sekarang wajah yang dulu nampak ceria kini mulai meredup tanpa tahu apa penyebabnya. Kenzo hanya berharap agar kakaknya bisa kembali seperti dulu.
Dira berjalan menuju kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Ia mulai mengguyur tubuhnya dengan air yang keluar dari shower.
Kekehan kecil mulai keluar dari bibirnya, Dira terkekeh seolah ia menertawakan nasibnya yang kini tidak semanis dulu. Sekarang hidupnya penuh masalah, cobaan itu terus saja datang padanya tanpa ia minta.
Perlahan kekehan itu menjadi tangisan, air matanya yang sedari tadi sudah tidak kuat ia bendung lagi kini mengalir dengan deras. Tangisannya kini menjadi pecah ia tidak bisa melakukan apapun selain menangis mungkin dengan menangis ia bisa sedikit tenang. Isak tangis mulai terdengar meski teredam oleh percikan air, hanya dirinya yang bisa mendengar.
Bolehkah ia menyerah sekarang? Bolehkah? Sudah tidak sanggup rasanya ia menahan semua ini, ingin rasanya ia menyerah tetapi apakah itu adalah hal yang benar? Ia takut salah mengambil keputusannya.
"Arghhhhh"
Jeritan kesakitan dan isak tangis yang begitu pilu terdengar bersamaan dengan air yang terus turun membasahi tubuhnya. Terkadang ia tertawa bahkan menangis secara bersamaan seolah dirinya sudah menjadi gila.
Tubuhnya kini kian menggigil oleh dinginnya lantai yang basah, Dira memeluk tubuhnya erat untuk meredam dinginnya tetapi itu percuma saja bahkan sekarang tubuhnya mulai bertambah menggigil hebat.
Ia mulai melangkah keluar dari kamar mandi dengan susah payah meski terkadang dirinya harus terjatuh berulang kali karena tidak kuat dengan tubuhnya yang sudah lemas, tetapi itu tidak membuat Dira menyerah dan terus saja berjalan.
Di hempaskan tubuhnya ke tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut yang begitu tebal, Dira masih kedinginan padahal ia juga sudah mengatur suhu kamarnya agar menjadi hangat, tetapi itu tidak membantunya sama sekali.
Kedua matanya kini mulai terpejam, ia berharap semua yang ia lalui hanyalah mimpi bukan nyata. Ia berharap esok adalah hari bahagianya.
Harapan bahagia yang di inginkannya belum tentu akan datang mungkin saja esok adalah hari yang penuh kepedihan. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi saat esok, karena semua itu penuh kejutan tanpa seorang pun yang mengetahui.
Yang bisa dilakukan hanyalah menguatkan diri agar saat sesuatu itu terjadi, tidak membuat terkejut atas kejadian tersebut dan tidak membuat rasa sakitnya begitu besar.
***
Di sebuah taman terlihat sepasang remaja berbeda jenis sedang duduk di antara bangku yang tersedia di taman. Suasana taman hari ini terlihat sepi bahkan orang-orang pun tidak terlihat disini.
Seorang gadis menyenderkan kepalanya pada bahu seorang lelaki. Raut wajah keduanya nampak bahagia meski dalam arti bahagia yang berbeda.
"Lo gapapa kan tadi?" tanya seorang lelaki yang kini mengusap rambut gadis tersebut dengan lembut.
"Gapapa Vin" ucap gadis itu seraya tersenyum.
"Gue nyesel dulu pernah jadi sahabatnya" kata Arvin kepada gadis yang bernama Nara.
"kenapa" Nara menatap wajah Arvin dengan raut wajah yang sedikit bingung.
"Kalo gue tau ternyata sifat dia kaya gitu gue gak akan mau jadi sahabatnya" ucapan Arvin membuat Nara paham ternyata Arvin membahas tentang Dira, gadis yang sudah ia buat menderita dan menbuat semua orang menjauhinya termasuk sahabatnya sendiri.
"Tapi kan tetap aja dia dulu sahabat lo" ujar Nara.
"Itu dulu, bukan sekarang. Untung aja lo datang coba kalo gak ada lo mungkin gue masih gak tau sifat aslinya" ucap Arvin sambil memainkan rambut panjang Nara.
"Selain murahan dia juga pintar berbohong" sambung Arvin.
"Arvin harus berterima kasih sama Nara karena kedatangan Nara sekarang Arvin udah tau sifat asli Dira" ucap Dira dengan nada sedikit manja.
"Makasih" Arvin tersenyum manis dan mengacak-acak rambut Nara gemas.
"Emm Nara mau bilang sesuatu sama Arvin" celetuk Nara tiba-tiba.
"Mau bilang apa?" balas Arvin sambil menatap Nara.
"Tapi janji iya Arvin jangan marah sama Nara" ujar Nara menyodorkan jari kelikingnya.
"Iya janji" Arvin menautkan jari kelingkingnya.
"Nara suka sama Arvin" ucap Nara lirih sambil menundukan kepalanya.
Arvin terkekeh melihat Nara yang malu-malu itu membuat dirinya gemas akan sikapnya. "Arvin juga suka sama Nara"
Mendengar ucapan Arvin, Nara mendongakan kepalanya menatap Arvin dengan raut wajah yang berseri. "Beneran?" tanya Nara seolah memastikan.
Arvin menganggukan kepalanya dan menatap Nara dengan dalam membuat Nara yang ditatap seperti itu mulai merona bahkan jantungnya berpacu lebih cepat.
Perlahan Arvin mulai mendekatkan wajahnya pada Nara, bahkan kini hidung keduanya mulai bersentuhan. Nara memejamkan matanya membuat Arvin yang melihat itu seolah mendapat peluang.
Cup
Arvin mencium bibir Nara lama, Nara yang mendapat perlakuan seperti itu mengalungkan tangannya pada leher Arvin. Hingga tiga puluh detik berlalu mereka melepaskan ciumannya.
"Liat Dira orang yang lo sayang sekarang udah jadi milik gue, bahkan dia kini mengambil first kiss gue" batin Nara tersenyum sinis.
🥀🥀🥀
To be continue
Udah lama gak update😁 maafin author iya🙏 sebagai gantinya hari ini aku bakalan double up👏 horeee💃
Semoga suka😘
Jangan lupa di vote and commentnya para readings❤
KAMU SEDANG MEMBACA
ARDIRA [SELESAI]
Teen FictionTentangku tentangmu sempat tertulis di kertas yang sama. Namaku namamu pernah Tuhan satukan dalam skenario yang kita perankan. Rasamu rasaku pernah saling mengisi kekosongan. Meski tak pernah terucap, namun bisa dirasakan. Bukankah semua itu menyiks...