[16. Erin tetaplah Erin]

915 34 4
                                    

Dickey segera melacak keberadaan Erin. Ia cukup kesulitan mencari sinyal Erin. Hingga akhirnya ia tersadar akan sesuatu.

"Ini ga bisa! Di matiin pelacakan lokasinya." Ujar Dickey. Kini ia ikut khawatir.

"Sean, hubungi Vio sekarang! Suruh dia beritahu nomor mamanya Erin." Ucap Dickey. Otaknya terus berusaha mencari cara supaya Lexi di temukan.

"Felo, lo coba hubungi semua temen-temen cewek Erin yang kira-kira masih ada hubungan sama Erin. Gue rasa kalau Erin macem-macem, dia bakal cari temen." Ujar Dickey.

Tanpa sedikitpun bertanya, Sean dan Felo langsung mengikuti apa yang Dickey perintahkan. Dickey masih menyusun rencana dalam otaknya dengan tangan yang terus mengetik apapun yang ia tau dengan harapan ia bisa mengontrol ponsel Erin dengan komputernya.

Sean mencoba menghubungi nomor yang telah mama Vio berikan padanya. Dan benar saja, orang tersebut langsung mengangkat telpon nya.

"Selamat siang tante, maaf mengganggu. Saya Sean, teman Erin. Jadi hari ini sebenarnya kami mau jalan, tapi dia belum tau lokasinya dimana, Erin juga ga bisa dihubungi saat ini." Tanya Sean hati-hati.

"Setau tante tadi Erin bilang mau ketemu sama temen-temennya yang biasa ke rumah akhir-akhir ini." Jawab Feni.

"Kalau boleh tau, teman yang mana, tan? Soalnya kemarin memang ada janjian sih sama temen lainnya." Tanya Sean

"Tante ga tau namanya sih, tapi yang jelas dia tingginya sekitar 160-an, rambutnya panjang hitam, kulitnya putih bersih, dan wajahnya cantik." Ujar mamanya.

"Oh si Ferent!" Ujar Sean sok tau agar Feni tak curiga jika dia bukan lah kelompok dari pertemanan Erin.

"Iya, mungkin itu." Kata Feni.

"Baik tante, makasiii." Ucap Sean berterimakasih.

Sean memutuskan hubungan telpon tersebut, lalu berkata "Gue cuman dapet ciri-ciri cewek yang kira-kira lagi sama Erin sekarang."

"Gimana ciri-cirinya?" Tanya Felo.

"Rambutnya panjang hitam, tingginya sekitar 160 cm, kulitnya putih dan dia cantik." Ujar Sean.

Felo berpikir sejenak. Menebak-nebak siapakah perempuan itu, hingga akhirnya Dickey memecahkan lamunannya itu.

"Berhasil!" Seru Dickey.

"Lo tau lokasi dia?" Tanya Sean.

"Bukan, gue berhasil ngelacak aktivitas ponselnya. Lihat, ini orang-orang yang dia hubungi kemarin dan pagi ini tadi." Ujar Dickey sambil menunjuk layar komputernya yang menerakan panggilan-panggilan yang Erin lakukan kemarin dan pagi ini.

Mata Felo langsung tertuju pada dua nama yang tertera di layar itu. "Karin Klarith? Hani Velinda?" Ujar Felo dengan suara yang sangat kecil, namun semua masih bisa mendengar itu.

"Lo tau mereka?" Tanya Sean.

"Mereka itu tukang bully. Adek kelas kita waktu SMA, kakak kelasnya kalian kan?" Tanya Felo pada ketiga gadis itu.

"Aku ga tau." Jawab Lorin.

Mire terlihat berpikir, mengingat-ingat masa SMA-nya. Mendengar kata bully membuatnya sedikit samar soal suatu hal yang juga masih belum ia ingat. Namun akhirnya, Mire membulatkan mulutnya setelah mengingat satu kejadian tentang Lexi dan dirinya kala itu.

"Mire tau?" Tanya Sean diangguki oleh Mire.

"Iya, dulu mereka pernah bully Lexi juga." Ujar Mire. Dia ingat betul jika waktu itu Karin dan komplotannya itu adalah orang yang membuat badan Lexi basah oleh jus jambu biji yang sudah busuk.

[Senior]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang