Note. Kemarin aku salah ngomong ya? maksud ku chap depan (chap 21) ada yang pernah ku up di Ig bukan Chap 20 itu ngga full chap, emang chap nya cuma segitu. undangan doang. lebih baik sebelum kalian baca ini baca TBM season Autumn chap 18. You're the appendix of my life, btw, aku ngga nulis lagu di atas sini karena ada alasan nya and... siapa ingat kalau lagu di atas adalah lagu kesukaannya Adam (lagu kesukaan ku juga hehe) oh ya, kalau bisa, kalau bisa ya... 50 vote aku up lagi besok tapi kalau ngga bisa ngga papa jadi kalian bisa lebih menghayati chap ini dan ngga memutuskan untuk menjudge salah satunya tanpa benar-benar tau situasi yang mereka masing-masing hadapi. sekali lagi kita cuma reader, ini udah setahun lebih lewat jadi kita ngga pernah tau apa yang bener-bener terjadi sama hidup mereka, aku pun ngga tau... well happy reading.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cincin yang selama ini tergantung di kalungnya ia lepaskan dan ia pasang di jari manisnya, ia menatap pantulan dirinya di cermin, ia seharusnya tak mengenakan dress berwarna putih ke acara pernikahan mereka apalagi yang berbahan brokat dengan cincin yang melingkar di jemari manisnya, yang ia berikan padanya atas tanda kesungguhan cintanya padanya.
Karena itu membuatnya terlihat seperti pengantin. Karena itu mengingatkannya hal indah yang seharusnya mereka miliki dan karena itu memberinya rasa penyesalan setiap kali ia teringat wajahnya yang terlelap di pagi ia meninggalkannya.
Tapi saat mengingat bahwa untuk pertama kalinya setelah malam yang membuat ia sepenuhnya menjadi miliknya itu, ia bisa kembali bertemu dengannya, ia tak sanggup untuk menahan dirinya dan mendatanginya di hari besarnya untuk bertanya padanya : Do you still mine?
***
Pernikahan itu di adakan di sebuah tenda besar ala tenda perkemahan namun dengan ukuran yang lebih besar dan tenda ini mengingatkan dirinya akan tenda besar di Film Harry Potter saat Bill dan Fleur menikah namun bentuknya lebih seperti tenda tempat dimana Harry dan yang lainnya menginap saat akan menonton Quidditch World Cup di Film Harry Potter And the Goblet of Fire, terlebih di bagian dalamnya, meski dari luar nampak sederhana namun bagian di dalamnya sangat menakjubkan, seperti sebuah ballroom pernikahan di hotel-hotel namun yang satu ini lebih klasik dan authentic.
Pemilik acara nampaknya tak ingin membuat orang lupa dengan keadaan ekonomi mereka yang berlebih dengan segala jenis kemewahan yang ada di dalam tenda sederhana ini.
Matanya pada akhirnya menangkap sosoknya, ia nampak semakin dewasa dari yang bisa ia lihat dengan tuxedo yang ia kenakan dan dasi kupu-kupu yang selalu menjadi musuh abadinya.
Di antara puluhan orang yang berjalan di antara mereka dan denting piano yang menjadi mars pernikahan, mata mereka bertemu dan untuk pertama kalinya setelah 3 tahun, ia bisa menatapnya dengan penuh cinta tanpa rasa bersalah.
Saat ia membelah lautan manusia yang memisahkan mereka dan mengulurkan tangannya pada dirinya, bukan seperti jabatan bisnis seperti yang ia berikan di Seattle namun juga bukan seperti jabatan lembut yang ia berikan di Australia, rasanya hampir sama seperti saat ia mengulurkan tangannya padanya saat mereka melakukan gencatan senjata di apartment nya di Indonesia.
Rasanya hangat dan menenangkan juga memberikan sebuah kepastian akan sesuatu.
"Aku ngga tau kalau kamu sudah kembali ke Jakarta" adalah kalimat pertama yang ia ucapkan pada dirinya.
Ia tersenyum "Aku juga ngga tau kalau kamu sudah kembali ke Jakarta" ucapnya, sedikit kebohongan manis tak akan menyakiti siapapun.
Ia mengangkat bahunya "Aku baru balik sekitar seminggu yang lalu, begitu dapat undangan langsung beli tiket pertama untuk balik ke Indonesia" ucapnya "Dia ngga bisa ngurus acara pernikahannya sendiri tanpa sahabatnya yang ganteng, aku ngga tahan dengar rengekannya"