Vanya tengah menonton film di laptop, sambil tengkurap di atas kasur. Keningnya masih berbekas luka karna Zean mendorong nya, mengingatnya saja membuat Vanya kembali pusing.
Pintu kamar terbuka, itu Zean dengan jaket kulit berwarna hitam. Baru pulang dari main, biasa habis main di bengkel Alex.
"Udah makan??" Tanya Zean, dibalas gelengan oleh Vanya yang masih fokus menonton film.
"Buruan makan, di meja makan ada sambel terong sama telur goreng, kalo lo gak bisa makan lauk yang ada—"
"Bisa, gue bisa. Kenapa? lo ngira gue juga makan makanan mewah karna orang kaya? terus aja lo pada mikir kayak gitu tentang gue." Sanggah Vanya memotong ucapan Zean dengan gaya bicara yang berubah.
Zean termenung mendengar ucapan dari mulut Vanya, "gue bukan ngira kayak gitu, gue cuman—" lagi-lagi ucapan Zean terpotong karna Vanya langsung turun dari kasur dan melangkah pergi keluar.
Langkah kakinya menuruni anak tangga dengan cepat, perutnya sudah sedari tadi bunyi karna terlalu asik menonton film.
"Lo marah?!" Tanya Zean sedikit keras karna Vanya sudah melangkah ke ruang makan.
Vanya hanya diam dan menyendok nasi di piring untuk masak nasi goreng, karna Vanya tidak suka terong lebih tepatnya alergi. Pernah waktu kecil makan sayur terong, badannya langsung gatal - gatal dan bengkak.
"Lo marah??" Tanya Zean yang menarik kursi di meja makan sambil memperhatikan Vanya yang tengah memotong bawang merah.
"Nggak, apasih! jangan sampai pisau mendarat kena kepala lo!" Kesal Vanya.
Zean menghela nafas, kali ini dia berdiri dan menarik paksa tangan Vanya untuk pergi dari dapur.
"Apaan sih Zean!" Gertak Vanya.
Zean mencengkram kuat pergelangan tangan Vanya dan menarik paksa masuk ke kamar, dia tau Vanya sedang memendam kekesalannya sendiri.
Zean mengambil sebelah tangan Vanya dan menaruhnya di dada, "pukul kalo emang ini buat lo lebih tenang." ucapnya dengan pelan.
Mendengar itu air mata Vanya keluar tanpa diminta, dia mulai memukul dada Zean cukup kuat tapi seperti kelelahan, dia capek, bahkan muak mengingat ucapan orang lain yang menilai dirinya.
"Terus pukul." Ujar Zean yang membiarkan Vanya makin terus memukulinya dengan brutal meski tidak seberapa tapi mungkin dengan cara ini Vanya bisa meluapkan kekesalannya.
Sampai akhirnya Vanya capek sendiri dan berakhir nangis di pelukan Zean, tangisannya makin kencang begitu mendapat perlakuan hangat dari Zean.
"Zean...maafin, a—akuu huhuuu...hiks...k—kamu jadi kena skorsing, m—maaf..." Ucap Vanya dengan sesenggukan, dia mengeratkan pelukannya pada Zean.
Tadi gaya bicara nya lo gue berubah lagi seperti awal emang Vanya tipe moody'an menurut Zean, tangannya meraih wajah Vanya dan mencium keningnya.
"Gapapa, udah gak usah nangis..." Ucap Zean yang mengelap air mata Vanya berjatuhan, hidung Vanya yang memerah membuatnya terlihat lucu di mata Zean.
"Katanya mau anak ayam warna-warni, udah gue beli tadi pas pulang sekolah." Ujar Zean yang langsung merangkul Vanya keluar dari kamar dan menuruni anak tangga untuk ke halaman belakang.
"Emang kamu beli dimana?" Tanya Vanya.
"Sama temenku cari di pasar." Jawab Zean, dia menunjukkan kandang ayam yang kecil seukuran anak ayam. Terlihat anak ayam itu berwarna kuning, pink dan ungu sesuai pesanan Vanya waktu itu.
•••
"Bang, ada ayam yang berwarna gak?" Tanya Bagas yang mendatangi salah satu penjual ayam.
KAMU SEDANG MEMBACA
VANZEAN
ФанфикLahir di keluarga yang memiliki uang banyak bukan berarti hidupnya sempurna dan itu yang dialami oleh Zhevanya Genandra yang dipertemukan oleh Zean Astara Pratama karna kebencian di masa lalu yang dilakukan oleh orangtua mereka. "Membenci itu selalu...