The Worst Day Ever

704 131 47
                                    

Don't forget to leaves your traces; either it is vote Or comment 😊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Don't forget to leaves your traces; either it is vote Or comment 😊

Don't forget to leaves your traces; either it is vote Or comment 😊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Yak! Perhatikan jalanmu! Kau melaju terlalu cepat!"


Memegang handle hand grip di sisi kiri atas kepalanya, dalam hati Jimin menyesali keputusannya menerima tawaran si wanita yang semakin mengukuhkan dirinya sebagai bencana. Entah lintasan seperti apa yang ada di penglihatan wanita berambut tanggung, tapi Jimin yakin ini bukan track F1. Lalu, untuk apa mengebut? Di mana esensinya mengendarai mobil yang seharusnya bisa dinikmati dengan tenang sambil sesekali melirik pemandangan kota di sebelah kanan atau kiri.



"Tenanglah. Aku ini termasuk kecepatan normalku. Ah, kau mau?"



Jimin bergidik. 80 km/jam dibilang normal. Wanita itu jelas abnormal! Dan bagaimana bisa-bisanya dia mengendarai sambil menikmati keju stik? Membayangkannya saja ingin membuat Jimin muntah.



"Bisakah kau perlahan sedikit? Aku juga harus menelepon asistenku dulu?"



Sohyun menoleh. "Memangnya kau anak bayi? Kalau mau menelepon, ya, telepon saja. Apa hubungannya kecepatan mobil dengan menelepon?"



Tengkuknya menegang. Jimin berusaha tetap tenang. Toh, berdebat pun percuma. Wanita itu antikritik. Dia sulit diatur. Dia ... benar-benar bencana.


Tidak lama kemudian, mobil mengerem mendadak sampai-sampai dada Jimin terhempas ke dashboard agak kuat. Ponsel yang baru dibelinya ikut terlempar ke kursi belakang.


"Maaf, tapi aku baru saja menerima pesan dari sepupuku untuk menjemput putriku di sebuah toko roti yang tidak jauh dari sini. Bolehkah aku menjemputnya dulu baru mengantarmu?" Tidak jauh berbeda dengan trik andalan Yoojung, Sohyun pun mengerjapkan matanya dengan polos. Ikut mengandalkan tampang imutnya yang tidak terlihat seperti usia dua puluh delapan tahun.


"Tidak perlu mengantarku. Aku yang nantinya akan turun di toko roti tempat kau menjemput putrimu." Jimin mendengkus kesal sembari sesekali mengurut dada.



QUERENCIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang