"Hyun, bukankah kita seharusnya punya anak laki-laki sebagai anak pertama?"Sohyun yang duduk bersandar di dada Minhyun lantas memiringkan kepala. Sambil menonton bersama di kamar, tiba-tiba saja Minhyun melontarkan topik yang bisa dibilang sama sekali tidak ada kaitan dengan alur tontonan keduanya.
"Aku lebih menyukai anak perempuan," sahut Sohyun.
Minhyun terbahak sambil mengeratkan dekapannya di pinggang Sohyun. Sebenarnya ini sudah kesekian kalinya mereka bahas perihal anak, meski pernikahan keduanya baru berjalan tiga bulan. Namun, kesamaan keduanya—menyukai anak kecil—membuat Minhyun dan Sohyun kerap membahas hal tersebut.
Bila Minhyun selalu dibuat gamang dengan jawabannya tentang anak; sebaiknya laki-laki atau perempuan, maka Sohyun teguh dengan pendiriannya. Dia selalu bilang ingin anak perempuan sebagai anak pertama.
"Kalau anak laki-laki, dia nantinya bisa melindungi adik-adiknya kelak," Minhyun berkomentar.
Sohyun memutar tubuhnya. Tidak lagi duduk bersandar pada Minhyun, ia memilih berhadapan langsung. Sambil memegang kedua bahu suaminya, Sohyun berkata, "Anak perempuan juga memiliki insting menjaga, Oppa."
"Benarkah?" Minhyun mendekati wajahnya ke arah Sohyun. "Kalau begitu, apa kau juga nantinya akan selalu menjagaku?" lanjut Minhyun tersenyum.
Sohyun menjawab tangkas, "Tentu saja. Aku akan selalu melindungimu." Diakhiri mengumbar seutas senyum hangat.
"Kalau begitu, bila nanti kita punya anak perempuan, akulah yang akan memberikan namanya."
"Setuju." Sohyun mengaitkan kelingkingnya ke jari Minhyun. "Tapi, Oppa ... apa kau sudah memikirkan namanya?" Sohyun balik bertanya.
Minhyun tersenyum, kemudian membelai kepala istrinya. Saat itu dia berpikir kebahagiaan keduanya akan lekang. Sayang, Minhyun salah. Pernikahannya berakhir singkat. Masa-masa indah itu ... kini berjejak tak ubahnya sebuah kisah usang.
Minhyun berdiri tepat di sisi kaca jendela yang mengarah ke beberapa gedung pencakar langit. Ingatannya masih melayang ke masa-masa yang membahagiakan, tetapi juga menyakitkan. Kendati begitu, pria jangkung itu—Minhyun—tidak bisa melupakan Sohyun.
Walau sudah berpisah lama, semuanya masih lekat di ingatan. Di awal perceraian, Minhyun masih ingat ia begitu terpuruk. Rasanya hampa ketika dia tidak lagi menemukan si pemilik senyum hangat itu menyambut kepulangannya. Atau teman bersenda gurau saat menonton atau ketika ingin terlelap. Butuh waktu cukup lama bagi Minhyun untuk menata ulang hidupnya. Dan ketika semuanya perlahan membaik, hatinya lagi-lagi goyah oleh orang yang sama.
"Ye Won ...," lirih Minhyun kali ini menerawangkan pandangannya ke langit, "aku pernah mengajukan nama itu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
QUERENCIA
Fiksi Penggemar"Hai, Ayah. Akhirnya kita bertemu." Dunia Jimin yang tenang seketika porak-poranda sesaat seorang gadis kecil mendatangi dan mengaku sebagai putrinya. Memangnya sejak kapan dia menghamili wanita Ahn yang bahkan tidak dikenalnya? Ditambah Jimin tidak...