Dilemma

572 121 77
                                    

"Oppa!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Oppa!"

Pria yang dipanggil itu menoleh dan terlihat cuek, meski wanita yang berjalan ke arahnya bereaksi kontras—terlihat gusar dan kesal.

"Kau melupakan janji kita!" ketus si wanita dengan wajahnya yang memerah.

Pria jangkung itu menyeringai sinis. Tidak tampak bersalah kala menyahut ucapan wanita berponi itu, "Aku tidak pernah mengiakan untuk datang. Kau sendiri yang memutuskan untuk menungguku."

"Adeul!"

Pandangan pria itu beralih ke wanita baya yang muncul dari arah dapur dan seperti sengaja menginterupsi pertemuannya dengan Kwon Nayeon, lawan bicaranya.

"Apa kau tidak merasa keterlalun dengan Nayeon. Dia sudah menunggumu dari tadi. Dia juga coba menghubungimu, tapi kau tidak mengangkat panggilan dari tunanganmu."

Minhyun mengamati Nayeon yang tampak ingin menangis. Namun, lagi-lagi ia tidak berminat untuk menghibur wanita yang sejak dua tahun lalu jadi tunangannya. Bahkan seharusnya bulan depan keduanya akan menikah, tapi Minhyun tidak merasa antusias. Sedikit pun tidak.

"Kau dari mana, Oppa?" Nayeon menggenggam tangan Minhyun.

Pria bermata kecil itu menatap Nayeon yang sedikit demi sedikit memperlihatkan senyumnya. Ia berpikir kemarahan Nayeon mulai mereda.

"Aku tadi bertemu seseorang. Seseorang yang penting," tukas Minhyun tersenyum, lalu melepaskan tangan Nayeon sebelum ia berlalu menuju kamarnya sembari bersiul.

Ibu Minhyun dan Nayeon saling berpandangan. Nayeon gelisah, sama seperti wanita baya—ibu Minhyun—yang menangkap ekspresi putranya berubah. Baru hari ini ia melihat Minhyun datang dengan bersenandung, layaknya tengah riang. Padahal selama tujuh tahun ini, Minhyun berubah jadi pemurung. Lalu, siapa yang ia temui hingga mengubahnya drastis seperti sekarang?

***

Kepala kecil itu celinguk-celinguk. Gedung di depannya terlihat besar dan megah. Ada rasa khawatir menyelusup akalnya, tapi di sisi lain ambisi untuk mengenal ayahnya lebih mendominasi. Lagi pula, bibinya tidak mungkin berbohong, kan, mengenai ayahnya.


Tungkai pendeknya begitu nekat memasuki lobi kantor yang masih terbilang asing untuknya. Benar saja, seorang petugas keamanan begitu intens memandanginya, lalu bergegas mendekatinya. Pria bertopi itu lantas merendahkan badan hingga tinggi keduanya tidak terlalu timpang.

"Kau tersesat?" tanyanya ramah.


Saat-saat terdesak begini, gadis kecil berbola bulat dan lebar itu jadi ingat kata ibunya yang pernah bilang, "Kalau kau ingin menghindari percakapan dengan seseorang yang baru kaukenal, berpura-puralah jadi orang asing. Cara itu selalu berhasil pada ibu."

QUERENCIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang