Gravity - 10

11.6K 570 14
                                    

Jangan lupa bintang dan komentarnya!
Ramaikan Gravity agar cerita ini berwarna.

[]

JAVIER merebahkan tubuhnya di atas kasur yang menghadap langsung ke televisi, setelah pulang dari acara mainnya dengan Yuda, Faza, Gio dan Anin, kepala Javier berdenyut nyeri.

Untuk mengatasi rasa nyerinya, Javier bangkit dan berjalan ke meja belajarnya yang lengkap dengan komputer.

Memainkan game sebentar mungkin akan membuatnya rileks.

Javier menyalakan komputer tersebut dan memasang headphone gaming ke telinganya. Duduk bersandar nyatanya tetap membuat pikiran Javier gelisah, biasanya pemuda tersebut akan rileks hanya dengan duduk bersandar saja.

"Astaga! Gue lupa," ujar Javier. Pikirannya tidak rileks karena pesan yang diberikan Ralinne, adiknya. Javier ingat bahwa Ralinne ingin mengatakan sesuatu padanya, terlebih tadi wajah Ralinne yang pucat.

"Ah, bodo lah!" Javier berusaha menghalau Ralinne dari pikirannya, ia melampiaskan pada game di depannya sampai tak sadar pintu kamar terbuka pelan oleh gadis yang sejak tadi mengganggu pikirannya.

"Kak."

Javier menoleh dan mendapati Ralinne tengah berjalan mendekat sembari memilin gaunnya, Ralinne berjalan menunduk.

Javier menganga. "Ke-kenapa?"

Dapat Ralinne lihat bahwa tubuh Javier menegang. Ralinne semakin takut dengan kenyataan saat ini.

Apa Javier akan menerimanya?

Tidak mungkin, bukan?

Ia dan Javier saudara kandung.

"Aku mau ngomong sesuatu sama Kakak," ujar Ralinne. Gadis tersebut mendaratkan bokongnya di atas sofa bulat sebelah Meja belajar tempat Javier bermain game.

"Mau ngomong apa?"

Ralinne menunduk, ia semakin kalut. Tapi, ia harus mengatakan semua ini pada Javier.

"Kak, aku positif."

Ralinne mengangkat kepalanya untuk melihat reaksi dari Javier, pemuda yang tak lain Kakak kandungnya itu menegang.

"Positif apa?" tanya Javier pelan.

"Po-positif hamil ... Kak," balas Ralinne. Javier menggeleng sembari terkekeh.

"Gak mungkin, gak mungkin. Lo bohong!" Javier menunjuk wajah Ralinne.

Ralinne terkejut kala Javier menaikkan suaranya, gadis bersurai hitam itu pun menangis.

"Serius, Kak!"

"Gue gak percaya! Gue selalu pakai pengaman," elak Javier.

Ralinne menggeleng. "Pakai pengaman pun gak menjamin aku gak bisa hamil, Kakak ngelakuin tiga kali berturut-turut!" Ralinne mengusap air mata yang turun dari pelupuk matanya.

Javier menggeleng dan bangkit. Pemuda tersebut membuka lemari pakaiannya dan melempar sesuatu pada Ralinne.

Tes kehamilan.

Ralinne membulatkan kedua bola matanya, sejak kapan Javier memiliki benda tersebut?

"Pakai itu di kamar mandi gue. Gue mau tahu lo benaran hamil atau enggak," titah Javier sembari menunjuk benda tersebut.

Bagai anjing penurut, Ralinne mengangguk dan mencoba di kamar mandi Javier.

Gadis tersebut berdiam diri selama lima menit di dalam kamar mandi Javier, Javier mengusap wajahnya kasar dan menyugar rambut hitamnya sembari berkacak pinggang.

"Ralinne, udah belum?" tanya Javier di depan pintu kamar mandinya.

Ralinne membuka pintu kamar mandi tersebut dan memberikan akses pada Javier.

Ralinne menyerahkan tes kehamilan tersebut pada Javier dan Javier menerimanya.

"Dua garis merah?"

Ralinne mengangguk.

Javier membuang alat tes kehamilan tersebut di kloset dan menarik pergelangan tangan Ralinne kasar.

"Ikut gue!"

"Kemana?"

Javier tidak menjawab dan menanggapi ucapan Ralinne dengan memakaikan sweater kebesarannya pada Ralinne.

Bruk.

Ralinne melihat Zara berada di depan pintu kamar Javier dengan lelehan air mata, Mamanya memegang benda laknat yang membuat hidup Ralinne berantakan.

"Ini apa? Jelasin ke Mama!"

Zara melempar tes kehamilan tersebut pada Ralinne. Ralinne menangis lagi dan menggeleng pelan.

"Siapa yang hamilin kamu?" tanya Zara dingin. Meski masih di depan kamar Javier, Zara tidak terlalu mementingkan keberadaannya saat ini.

Yang terpenting Ralinne mengaku dan memohon maaf atas kesalahannya.

"SIAPA RALINNE?!"

Ralinne terkejut dan melirik Javier.

"Javier yang hamilin kamu? Iya? Javier?" Ralinne mengangguk pelan.

Plak.

Javier menegang kala Zara menampar wajahnya. Pemuda tersebut memegang pipi yang habis di tampar oleh sang Mama, wajah Zara merah padam menahan amarah.

Zara menatap Ralinne nyalang dan menampar pipi anak gadisnya.

Zara kecewa pada Ralinne. Zara berjalan meninggalkan Ralinne dengan Javier, Zara meraih telepon rumah dan menghubungi kantor sang Suami yang berada di Jepang.

"Kamu pulang hari ini, ada sesuatu yang diperbuat anak kesayangan kamu ke anak saya!"

Ralinne memeluk sang Mama dari belakang dan Zara memberontak.

"Jangan peluk saya sebelum Papa kamu memaafkan kesalahan kalian!"

Sedangkan di lain tempat, Diaz menegang setelah sang Istri meneleponnya menggunakan telpon rumah. Tidak biasanya Zara menghubungi lewat telpon rumah, istrinya selalu menggunakan ponsel canggihnya untuk menghubunginya.


Ditambah pula ia disuruh kembali hari ini dengan alasan ada sesuatu yang diperbuat oleh anak-anaknya.

"Bar, tolong pesankan tiket keberangkatan ke Indonesia hari ini. Saya mau pulang sebentar," ujar Diaz pada sang asisten lewat panggilan singkat.

"Oke, boss."

[]

27 Juni

Jangan lupa Follow instagram aku
Lebeluvland
Javier__dylanm
Patriciaralinne

Gimana dengan cerita ini?

GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang