Gravity - 40

5.3K 265 16
                                    

Hai, jangan lupa bintang dan komentarnya ya.

Javier mendapati kabar bahwa sang Ibu dan adik perempuannya akan datang ke Jakarta pagi ini, sebagai anak yang patuh dan menjunjung tinggi rasa hormat kepada orang tua, ia menurut dan menjemput sang Ibu di stasiun dekat kampus.

Awalnya Javier sangat tidak ingin sang Ibu datang ke Jakarta sini. Karena, pertama ia tidak memiliki rumah di Jakarta——Ada rumah Oma Ria——namun Javier tidak akan ke sana untuk meminta tumpangan.

Kedua, mereka juga tidak memiliki keluarga di Jakarta.

Ketiga, sang Ibu datang ke mari bersama Kayla untuk bekerja di butik dekat kampus.

"Kamu di mana, Bang?"

"Bentar, Bu. Abang masih di jalan, sebentar lagi sampai kok."

"Abang bawa mobil, jadi macet."

"Oh yaudah. Ibu tunggu di depan stasiun aja ya?"

"Oke. Tapi jangan panas-panasan, ya, Bu? Nunggu di bawah halte aja."

"Sip, hati-hati, ya, Bang."

"Siap 45!"

Pip

Sambungan terputus dan Javier segera melajukan mobil sedannya ke jalan sebelah kiri. Bersyukurlah karena ia memiliki daya ingat yang kuat serta pandai dalam mencari jalan tikus.

Karena disaat mendesak seperti ini, ia menggunakan kemampuannya dalam mencari jalan tikus agar sampai tepat waktu dan tidak membuat sang Ibu menunggu lebih lama lagi.

Mobil sedannya berhenti di depan halte. Ada sang Ibu dan adik perempuannya tengah menunggu kedatangannya di sana.

"Udah lama?"

"Ngga kok, Nak. Ibu sama adikmu baru 15 menitan di sini," jawab sang Ibu sembari mengulurkan tangannya yang baru saja disalimi oleh Javier.

"Ibu bohong!" sela Kayla.

"Kita udah hampir 30 menitan di sana. Pokoknya abang harus tanggung jawab! Beliin Kayla boba di sini," lanjut Kayla pura-pura kesal pada Javier.

Javier hanya menanggapi dengan kekehan pelan, "kok abang ketawa?!" ujar Kayla bingung. Pasalnya tidak ada lelucon di obrolan tadi.

"Lucu."

"Apanya yang lucu?! Itu garing tau gak?" balas Kayla yang mulai kesal.

Tadi ia hanya pura-pura, namun sekarang malah kesal benaran. Dan respon Javier hanya tersenyum atau tidak terkekeh. Abangnya aneh.

"Abang beliin satu deh. Tapi Kayla harus nurut sama Ibu ya?" Kayla mengangguk semangat. Lalu Javier menepikan mobilnya di depan ruko yang menjual minuman cepat saji.

Ternyata Javier tidak memesan satu, ia memesan lima. Untuk Sang Ibu, Kayla, Faza, Ais dan satu untuknya. Oiya, tadi Javier sangat bingung, bukan? Karena sang Ibu tidak memiliki tempat tinggal di daerah Jakarta? Nah, untungnya Faza memberikan kabar bahwa kontrakan milik Ayahnya ada yang kosong.

Sontak Javier memboking kontrakan tersebut. Letaknya pun sangat strategis. Dekat dengan kampusnya dan butik yang akan memberdayakan sang Ibu.

Javier sangat berterima kasih pada Faza yang sudah membantunya sejauh ini. Dan sebagai ucapan terima kasihnya pada Faza hari ini, ia membelikan minuman matcha kesukaan pemuda tersebut.

"Wah, thanks banget, Vier. Makin cinta deh gue sama lo ahahaha," ujar Faza saat Javier memberikan minuman tersebut dengan wajah datar.

"Tu muka jangan ditekuk lah, gantengnya makin ga ngotak."

"FAZA JANGAN GAY, ADA ADIK GUA BANGKE."

--

"Bang Faza lucu ya, Bang."

Javier tengah menata pakaian milik sang Ibu ke dalam lemari. Sedari tadi Kayla senyum-senyum sendiri seperti orang jatuh cinta.

"Heh. Masih lucuan abangmu, Dek!" jawab Javier. Pemuda itu takut bila sang adik terpesona oleh kharisma seorang Faza.

Ia sadar betul bahwa tatapan Faza pada adiknya tadi itu adalah tatapan suka. Rrrr, bukan sekadar tatapan biasa, melainkan tatapan seorang lelaki yang menyimpan suatu perasaan pada seorang perempuan.

Bila iya, tidak akan Javier biarkan Faza mendapatkan sang adik.

"Ih apaan, abang tuh datar. Adek aja bosen liat abang yang flat banget, kayak tembok tau, hahaha," ucap Kayla sembari mendekat ke Javier lalu meninggalkan Javier sendiri setelah mengucap beberapa kalimat tadi.

Setelah Kayla menghilang dari pandangannya, Javier meraih ponsel canggihnya dari atas nakas dan membuka beberapa pesan yang masuk ke dalam ponsel tersebut.

Menarik sekali bukan hidup seorang Javier Dylan Melviano ini?

Ah, rupanya pesan-pesan di dalam ponselnya sangat tidak menarik. Ia pun menutup kembali ponselnya.

Segera merebahkan tubuh di atas kasur lantai sembari menatap langit-langit kamar di dalam kontrakan tersebut——Merenungi kesalahannya selama ini. Setelah merenungi kehidupannya saat ini, Javier rasa, selain menjadi beban keluarga, ia juga pecundang.

"Seharusnya waktu itu aku tanggung jawab kan?"

--

17 Desember 2020

niat hati ingin double up, tapi kayaknya ga dulu deh. Mau marathon true beauty ahaha, bye.

GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang