Gravity - 31

6.3K 339 21
                                    

Selamat membaca

Ralinne mendaratkan bokongnya di kursi dekat kolam, rasanya beban yang dipikul hampir enam bulan ini semakin berat. Ralinne tidak menyangka bila janinnya harus diangkat——Sebenarnya Ralinne tidak ikhlas janin itu diangkat.

Bagaimana pun juga, itu darah dagingnya. Dan pula rasa benci Ralinne pada Javier mencuat begitu saja setelah kehilangan janin kemarin.

Seharusnya Javier ada di sisinya kan? Menemaninya di dalam rumah sakit, atau sedikit bertukar kabar agar ia dapat tenang.

"Lin," ujar Diaz dari belakang Ralinne.

Ralinne menoleh ke belakang dan tersenyum mendapati sang Papa tengah berjalan menuju dirinya.

"Kenapa Pa?"

Diaz duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Ralinne. "Alin jangan sedih lagi ya? Papa ikut sedih kalau Alin sedih."

"Aku gak sedih kok."

"Papa minta maaf soal janin kemarin. Seharusnya dia hadir di sini menemani kamu kan? Tapi apa daya Papa yang gak bisa menyelamatkan janin itu," ujar Diaz melas.

Ralinne merasa tersentuh dengan ucapan Diaz.

"Papa gak usah minta maaf gitu, Papa gak salah. Mungkin ini emang takdir kehidupan Alin, Papa gak boleh sedih," balas Ralinne sembari mengusap bahu sang Papa.

Diaz tampak menundukkan kepalanya dan merenungi kesalahannya. Yang memutuskan untuk pengangkatan janin Ralinne adalah Diaz. Dia yang mengerahkan dokter itu untuk mengangkat janin Ralinne.

"Pa, Alin masak makanan kesukaan Papa lho. Ayo kita makan," ujar Ralinne mengalihkan topik. Ia benar-benar tidak bisa melihat sang Papa menitihkan air matanya meskipun setetes.

-o0o-

Javier membongkar kardus di almarinya, jemarinya meraih kotak kecil di dalam sana——Nampak sedang mengusap kotak itu yang lumayan usang.

Kotak sepatu.

Javier ingat, ia pernah membeli sepatu ini untuk anaknya nanti dengan Ralinne. Nanti setelah Ralinne bersalin, Javier akan mengirim kotak sepatu ini ke rumah keluarga Pradipta.

Sebenarnya Javier sudah tidak sabar menunggu empat bulan yang akan datang, ia akan melihat bayi kecil hasil perbuatan bejatnya dulu pada Ralinne.

Jika diberi pertanyaan apa ia menyesal telah menghamili adik sepupunya itu, Javier akan menjawab ya. Tapi di sisi lain ia tidak menyesal, karena hanya dengan cara itu yang bisa menyatukan mereka.

Javier membawa kotak itu ke dalam koper, ia akan menyimpannya sampai waktu itu tiba.

"Woy! Diem-diem bae!"

Javier memberikan tatapan tajam untuk Ais yang baru datang dengan Faza, pemuda itu baru saja membeli geprek kesukaan Faza.

"Mana punya gue?"

Ais membuka plastik putih isi geprek miliknya dan langsung menyantapnya dengan lahap. Javier dan Faza yang melihat itu merasa muak, bisa-bisanya seorang Ais menyantap makanan dengan sangat lahap?

Mungkin kah efek kehabisan uang?

Sudahlah. Masa bodo.

"Itu kotak apaan, Jav?" tanya Ais di tengah-tengah santapannya.

"Sepatu bocah punya siapa?" lanjut Ais lagi.

Ais sudah tahu itu kotak berisi sepatu anak kecil, karena dulu ia pernah membongkar diam-diam saat Javier tengah menjadi ketua panitia seminar bulan lalu.

"Kok lo tau?"

Ais menyengir khas. "Apa sih yang gak gue tahu, lo pup kapan aja gue tau."

"Jorok anjing!" Faza menggeplak kepala Ais. Ia baru saja menelan nasi gepreknya, dan Ais dengan santai berkata seperti itu. Ia pikir memang tidak jijik?!

"Santai aja napa si Za! Besok juga jadi dokter."

"Kata-kata dari mulut lo kudu difilter, Is. Tata krama dalam makan tuh penting, gak bisa asal bicara gitu!" ujar Faza marah.

Ais meneguk ludahnya.

"Ampun kanjeng!"

"Sialan!"

-o0o-

5 Oktober 2020

Menyempatkan update meskipun lagi PTS 😌

Guys, mau tanya. Kalian lebih suka per-part 500 kata tapi update selang-seling atau per-part 1000 lebih tapi update sekali dalam seminggu?

Butuh pencerahan banget aku 😭

Kalian sudah gabung ke grup Gravity belum?

Yang sudah gabung yuk cung jari di sini 👉

GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang