1340'sPagi itu, ia duduk di sebuah kursi jati ditemani oleh belasan prajurit kerajaan yang berbaris rapi di belakangnya. Adapun Pengawal Park yang sudah lama bekerja dengannya juga ikut mengamati bagaimana kertas itu perlahan berubah menjadi sebuah gambar pemandangan alam yang persis seperti apa yang ditampakkan.
Tangan lembut itu bergerak dengan lihai menggerakkan kuas ke atas kertas hingga menciptakan sebuah karya seni yang tak ternilai harganya.
Baskara yang sudah bertengger dari ufuk timur menjadi saksi seberapa lama pemuda terpandang dari negeri ini sudah menghabiskan waktu hanya untuk menyalurkan kegemarannya.
"Pengawal Park?" Panggil sang pangeran.
"Hamba, Yang Mulia."
"Menurutmu apa yang kurang dari gambaranku?"
Pengawal Park memandang lukisan tersebut dengan seksama. Baginya, tidak ada yang kurang sama sekali. Karena lukisan Yang Mulia Pangeran selalu menakjubkan.
"Seperti biasa, lukisan Yang Mulia selalu bagus dan mengagumkan."
Rupanya, pujian yang dilontarkan Pengawal Park malah membuat kening sang pangeran mengerut tak suka.
"Seleramu memang jelek, Park. Kau tidak lihat? Aku hanya menggambar orang-orang itu dengan satu kaki." Tunjuk sang pangeran pada bagian di mana ia menggambar kerumunan orang yang sedang mencuci pakaian di bawah air terjun.
Sang pangeran memandang Pengawal Park dengan kesal. Kemudian tangannya tergerak untuk menggambar bagian-bagian yang dirasanya kurang.
Tatapan matanya sempat berpaling untuk melihat bagaimana pemandangan air terjun di bawahnya. Beberapa orang mulai meninggalkan tempat itu dengan menggendong ember kayu berisi tumpukan kain basah. Namun sorot matanya malah berpaku pada pria muda berbaju merah yang sedang tertawa bersama dengan beberapa wanita tua.
Kulitnya putih bersih, struktur wajahnya tidak seperti penduduk kebanyakan. Saat ia tertawa, dua matanya yang bulat terkatup membentuk lengkungan bulan sabit. Pria itu menggulung lengan bajunya sesaat sebelum memanggul ember kayu hasil cuciannya.
Pria itu berjalan menjauhi anak sungai, akan tetapi pandangan sang pangeran tak mau lepas menatapnya dari atas tebing.
"Apakah Yang Mulia akan tetap melanjutkannya hingga tuntas?" Tanya Pengawal Park membuat sang pangeran membalasnya dengan setengah mendelik, karena berani mengusiknya.
"Memangnya kenapa?"
"Matahari sudah mulai terik. Suhu udara juga sudah mulai panas. Alangkah baiknya jika pekerjaan Yang Mulia dapat dilanjutkan besok saja? Setelah ini, Yang Mulia Pangeran ada jadwal untuk menghadiri rapat kerajaan."
Sang Pangeran menghela napas berat. Ia membuang pandangannya kembali pada bawah sungai yang sudah sepi.
"Yang Mulia—"
"Tunggu sampai aku selesai menggambar kaki-kaki ini." Pasrahnya kemudian.
👑
Pangeran Kim baru saja genap berusia tiga belas tahun. Ia lahir tepat saat rasi bintang biduk bersinar lebih terang dari biasanya. Peramal mengatakan, garis keturunan kerajaan ke delapan kelak akan menjadi pemimpin yang percaya diri seperti filosofi burung bangau. Kepemimpinan Taehyung nantinya akan berjaya walau ditempa peperangan bertubi-tubi. Namun dengan kecerdikannya, hal seperti itu pastinya dapat teratasi dengan mudah. Mengingat ia tumbuh di tempat yang mengharuskannya mengambil keputusan dengan bijaksana.
Sehari saat Kim Taehyung dilahirkan oleh Ibu Ratu, ia sudah terkenal sampai penghujung negeri ini. Rambutnya yang hitam legam seperti bulu burung gagak, dua iris kembarnya yang selalu menatap tajam sang lawan, serta bilah bibir yang merah merona seperti kulit apel. Saat itu, rakyat menyebutnya sebagai bayi rupawan yang turun dari surga.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Eden | Tk √
Fanfiction[Taekook Alternative Universe] 14 Masehi Ini berkisah tentang dua anak pribumi beda kasta yang saling mendamba. Tak peduli seberapa mereka sama-sama cinta, semesta akan tetap menjadi saksinya.