Keadaan di ruang makan menjadi lebih ramai sejak kedatangan anak sulung keluarga Pratama di kediamannya.
"Mas kangen banget sama rumah ini." ucap Dafa sangat lepas.
Dafa, putra sulung keluarga Pratama itu sedabg kuliah di Bandung. Ia ngekos di sana. Dan kini kebetulan ia bisa berlibur sejenak karena kampusnya baru saja memberi waktu bebas beberapa minggu.
"Emang nanti Mas mau numpang berapa hari di sini?"
Dafa menoleh mendengar pertanyaan Davin. Numpang katanya? Sepertinya Davin lupa kalau Dafa ini juga bagian keluarganya.
"Kaga numpang atuh, Kak. Kan Mas Dafa juga bagian keluarga ini. Ada-ada aja sih, Kak." kata Devan kepada Davin. Ia menggeleng lucu.
"Nah kan tuh Devan tau. Jangan ngadi-ngadi kalau ngomong, Vin," balas Dafa. "Enak aja bilang numpang. Mas sakit hati nih." lanjutnya dilebaykan.
"Ya elah, lebay banget sih Mas." ujar Davin sans bin santuy.
Fani datang dari dapur membawa pisau kue. Dafa memang membawa brownies khas Bandung karena ia paham betul keluarganya ini sangat suka pada makanan manis itu. Terutama adik-adik kurang ajarnya.
"Apa sih ribut aja kalian Masnya baru sampe juga." Fani memotong brownies itu dengan pisau yang baru saja ia ambil di dapur.
"Emang Bun, adek-adek laknat ya gini. Masnya pulang bukannya disambut gitu,"
"Malah disambit." Sambung Davin tanpa jeda. Nadanya sangat super datar.
Ardi yang sedari tadi menyimak pembicaraan kini tertawa keras. Davin ini punya mulut kadang lupa disaring.
"Lah si Ayah ngakak." kata Devan heran.
"Aduh anak-anak Ayah udah pada besar, yah." kata Ardi.
"Udah nih dimakan browniesnya." sahut Bunda yang sudah selesai memotong brownies yang berbentuk persegi panjang itu menjadi potongan lebih kecil agar memudahkannya untuk dimakan.
"Aku mau yang pinggir dong." ujar Devan. Tangannya kalah cepat oleh Davin dan Ardi.
"Yah, Adek kelamaan. Ayah duluan," goda Ardi membuat Devan merengut. Ardi memasukkan potongan kue itu ke dalam mulutnya ala-ala selebgram. "Mmm ... Enak ..."
Davin terdiam. Ia melihat wajah Devan yang ditekuk. Mending cakep. Idih, jelek begitu. "Nih, makan punya Kakak."
Davin menyodorkannya kepada Devan. Kedua mata Devan berbinar cerah. "Wah, serius Kak?"
Davin mengangguk cepat. "Lama, Kakak berubah pikiran nih."
Maka, Devan mengambil kue berwarna cokelat itu dari tangan Davin. Ia melahapnya dengan semangat. Devan tidak tahu. Sejak dulu ia menyukai potongan kue manapun yang berada di pinggir. Katanya lebih garing gitu. Aneh bukan?
Lalu, Davin mengambil lagi potongan brownies yang lainnya. Ia memakan lalu menelannya.
Memang seperti itu. Siapapun juga tahu Davin itu suka sekali mengalah kepada adik kembarnya.
<<<>>>
"Kak, mabar kuy!" ajak Devan.
Kini Devan dan Davin sedang berada di kamar kesayangan Davin yang begitu bersih. Davin duduk bersandar di ranjang, sedangkan Devan tiduran dengan berbantal paha sang kakak yang katanya membal.
"Mabar apa?" tanya Davin tak mengalihkan pandangannya pada ponsel.
Devan bergumam singkat sebelum akhirnya menjawab. "Mabar pou."
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...