19|Tragedi Bola Basket

7.7K 781 55
                                    

"Halo, Bunda!"

"Salamnya mana, Devano?"

Devan menyengir, walau ia tahu Bundanya tidak akan melihat. "Ulang ya. Assalamualaikum, Bundanya Devan."

Devan bisa mendengar suara tawa Fani. "Waalaikumsalam, kesayangannya Bunda."

"Bunda kangen sama aku ya?" tebak Devan.

"Iya nih. Bunda kangen sama anak-anak Bunda."

Devan merubah posisinya menjadi duduk sila. "Bunda kapan pulang?"

"Besok mungkin. Nanti Ayah kabarin Mas Dafa buat jemput di bandara."

Devan tersenyum. "Asiap, Bun."

"Keadaan rumah aman kan?"

"Aman, Bun. Kan ada pembantu yang gantiin peran Bunda." balas Devan sembari melirik Davin yang sedang memasak.

Di sebrang sana, alis Fani saling bertautan. "Pembantu?"

"Iya. Kak Davin," jawab Devan dengan suara renyah. "Kakak kan bisa bersih-bersih. Bisa masak. Banyak deh. Cuma, sayangnya Kakak masih jomblo." Setelahnya suara gelak tawa Bunda terdengar membuat Devan ikutan tertawa.

Davin yang mendengar Devan menyebut dirinya pun menoleh. Ia mengelap keringat yang menetes dengan lengannya sendiri.

Setelahnya, ia bawa piring-piring itu ke meja makan yang hanya diisi oleh Devan. Davin menatanya rapi.

"Heh, kamu juga jomblo kan? Nggak usah ngatain Davin kalau kamu juga gitu kenyataannya."

"Gibahin gue lo ya?"

Devan menjauhkan ponselnya fari telinga. Ia menjelekkan wajahnya kepada Davin. Mulutnya nyinyir seperti mengatakan, nyenyenye.

"Iya, deh Bunda."

"Kamu lagi ngapain? Kakak-kakakmu lagi pada kemana?"

"Ini lagi mau makan, Bun. Kak Davin baru aja selesai masak."

"Oh, kalau gitu kamu makan aja dulu. Bunda tutup ya?"

"Iya Bunda. Jaga kesehatan ya, Bun."

Davin berdecih mendengar pesan Devan. Ia menyuruh orang lain menjaga kesehatan, sedangkan dirinya tidak.

Setelah mengucap salam penutup sambungan telepon itu terputus. Fani hanya ingin mendengar suara riang putranya. Nyatanya, hal itu ampuh untuk mengobati kerinduan kepada anak bungsunya.

"Gimana Bunda?"

"Baik."

Davin duduk di tempatnya setelah ia mencuci tangannya di wastafel tadi. Ia tatap makanan hasil masakannya.

"Mas Dafa belum turun ya?" Davin bertanya.

Devan mengangguk. "Gue atau lo yang manggil?"

"Gue aja. Lo tunggu aja di sini."
Setelah mengatakan itu, Davin beranjak pergi. Memanggil kakak sulungnya.

Sesuai etika, Davin mengetuk pintu tersebut. "Mas? Makan dulu, Mas, aku udah masakin."

Terdengar balasan dari dalam sana yang menyuruh Davin untuk menunggu sebentar. Hingga akhirnya pintu itu terbuka dari dalam, memperlihatkan Dafa yang baru saja mandi. Ia belum memakai celana, hanya terlapisi handuk berwarna biru.

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang