30|Melupakan

7.9K 850 88
                                    

Mata indah itu perlahan terbuka karena sinar matahari terasa menyilaukan. Devan mengerjap beberapa kali agar matanya bisa fokus. Hal yang pertama ia lihat di sini adalah Davin yang sedang tersenyum ke arahnya.

"Kakak ..." ujar Devan dengan suara serak.

Devan mengedarkan pandangannya. Ia tidak menemukan siapa-siapa di sini selain Davin. Sepertinya Devan salah jika mengharapkan kedua orang tuanya berada di sini. Karena itu adalah salah satu hal tidak mungkin.

"Mau minum?" tanya Davin.

Devan mengangguk. Davin pun memberikan minuman kepada Devan dengan hati-hati.

"Gue ... Boleh tanya?"

"Tanya aja, Van." jawab Davin tanpa ragu. Namun, setelah mendengar suara lemah Devan bertanya, tubuhnya menegang.

"Bunda sama Ayah kok belum kesini ya, Kak. Mereka masih sibuk?"

Davin terbungkam. Pertanyaan yang paling ia hindari malah ditanyakan oleh Devan. Ia harus cari alasan apa lagi?

Davin berdehem panjang mencari jawaban. Setelahnya ia menjawab. "I-iya kayaknya, Dek. Tapi pasti nanti mereka kesini kok."

Entah kenapa Devan tidak yakin dengan jawaban yang baru saja Davin lontarkan. Ayolah, Devan sudah hidup berdampingan dengan Davin sejak menjadi zigot. Devan hafal sekali gestur Davin jika pemuda itu berbohong.

Apakah benar Bunda dan Ayah memang tidak mau datang menjenguknya? Kalau memang iya, hidup Devan tidak berarti apa-apa, bukan?

Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri, Devan manggut-manggut. Berpura-pura percaya pada apa yang Davin katakan tadi. "Oh gitu."

Sungguh, Davin merasa bersalah karena membohongi Devan kesekian kalinya. Dilihatnya raut sendu Devan. Ia pun mencoba mengalihkan pembicaraan. "Makan dulu, yuk."

"Atau lo mau buah?"

Devan memfokuskan netranya kepada Davin. "Lo lupa kemarin gue muntahin? Perut gue nggak enak banget, Kak."

"Dicoba dulu, Van. Biar lo cepet sembuhnya. Lo mau lama-lama di sini?"

Devan menggeleng polos. "Nggak."

Davin tersenyum mendengar suara penolakan Devan. "Ya udah sini gue suapin ya? Nggak habis juga nggak papa kok. Yang penting perut lo keisi. Lambung lo tuh udah luka. Lo mau tambah parah? Enggak kan?"

Devan menghela napas pasrah. Betul juga. "Ya udah."

Davin melebarkan senyumnya. Membujuk Devan tidaklah sulit, ia hanya ingin dirayu dengan cara baik-baik dan halus, pasti orang itu ujung-ujungnya akan menurut.

Davin membantu Devan duduk bersandar setelah mengatur ketinggian ranjangnya. "Kita ini kembar, Van. Nggak adil banget masa iya perut gue ada rotinya, sedangkan lo rata?" ejek Davin bercanda. Tangannya menyendokkan sesuap nasi kepada mulut Devan.

Devan mengunyahnya. Setelah menelan pun, ia membalas. "Itu artinya lo gendut, Kak."

"Hushh! Enggak lah! Jangan sekate-kate sama gue, Van!" sanggah Davin. Enak saja kotak-kotak di perutnya dikatai ia gendut. "Terus juga, katanya lo mau jadi fakboy, masa iya fakboy badannya kerempeng begitu?"

"Ih! Lo nggak boleh body swimming, Kak."

"Bukannya body sleeping?"

"Bukan anjir! Yang bener itu body sweeping!"

Davin tertawa, padahal ini lawakan receh. "Udah ah! Yang benar itu body shaming."

Devan ikut tertawa. Bersama dengan Davin, memang hidupnya akan lebih berwarna.

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang