Atmosfer di ruangan itu terasa mencekam. Anak lelaki berhoodie hitam itu memandang seseorang pria di hadapannya dengan tajam. Rasanya, ia ingin lepas dari orang ini.
"Apa lagi, Pa?"
Pria yang biasa dipanggil Papa oleh anaknya itu menyeringai. "Kamu udah melakukan apa yang Papa perintahkan kan?" Suara beratnya menyapa telinga anak itu.
Lelaki tujuh belas tahun itu terdiam sejenak. Sungguh, ia lelah dijadikan alat oleh sang Papa. Namun, ia mengangguk sebagai jawaban.
"Bagus." komentar Papa.
"Papa mau aku lakuin apa lagi? Masih belum puas 'dia' udah aku buat masuk rumah sakit? Kurang apa lagi Pah?"
"Papa nggak akan puas, kalau musuh Papa belum hancur-sehancur-hancurnya." jawabnya santai. Namun, bagi siapapun yang mendengarnya akan ikut merasakan aura negatif.
Anak itu menggeleng tak percaya. Papanya terlihat seperti iblis. "Nggak! Aku nggak mau berbuat jahat lagi."
Raut pria berkepala empat itu bertambah tajam. Ia memberi tamparan keras pada anaknya sendiri. "Kamu membantah? Mau saya usir dari sini? Hah?"
Jika ia sudah menyebut dirinya dengan 'saya' pertanda bahwa Papanya ini sangat marah. Dengan berat hati, sang anak menggeleng dan menunduk. "Maaf, Pa," Ia menghapus air matanya yang sempat menetes, takut sang Papa melihatnya. "Selanjutnya, aku harus lakukan apa kepada mereka?"
<<<>>>
Davin tak henti-hentinya merapalkan doa. Ia genggam erat jemari Devan yang terasa dingin.
Perkataan dokter tadi memukul telak Davin. Ia merasa telah menjadi seorang kakak yang buruk bagi Devan. Bagaimana bisa ia tidak tahu jika Devan tidak pernah makan dengan baik sehingga lambungnya terluka.
Yang paling menyakitkan adalah dimana adiknya memiliki kebiasaan untuk self injury. Bagaimana? Sejak kapan? Kenapa bisa? Semua kata tanya di benaknya mewakilkan betapa penasarannya Davin tentang keadaan adiknya itu.
Suara lenguhan kecil keluar dari bibir Devan. Rasanya menyakitkan ketika Davin mendengar napas berar Devan di balik masker oksigennya. Namun ia merasa lebih tenang, karena mata itu perlahan terbuka.
"Kak ..." lirih Davin.
Senyum lebar Davin terbit di bibirnya. "Akhirnya lo bangun juga." ujarnya.
Devan mengedarkan pandangannya. Ia pun mengingat kejadian terakhirnya ketika di toilet sekolah. Sungguh menyedihkan.
Devan mencoba untuk bangun, namun badannya tak bergerak. Terlalu lemas untuk digerakkan.
"Lama banget lo tidur sampe seharian."
Gerakannya terhenti kala ia mendengar suara lirih Davin. "Kak ..."
Dilihatnya sang kakak yang kini tak kunjung melunturkan senyumannya. Namun Devan melihat senyum itu sebagai senyum sendu dan kesedihan. Kedua netra Davin justru semakin menatap Devan dengan dalam, membuat Devan terjatuh pada tatap mata legam itu.
"Devano ... Gue mohon, jangan buat gue gagal jadi kakak lo." pinta Davin penuh harap.
"Kak, lo udah jadi kakak terbaik buat gue." jawab Devan lemah. Risih sekali dengan benda yang menempel di area hidung dan mulutnya ini. Tapi, Devan tak menghiraukannya. Yang kini menjadi pusat perhatiannya adalah manusia yang memiliki wajah serupa dengannya.
"Lalu, kenapa lo lakuin itu?"
Devan termenung sesaat. Ia tidak mengerti dengan kata 'itu' pada kalimat Davin. Namun, ketika ia merasa Davin mengusap lembut bagian pergelangan tangannya, Devan langsung mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...