41|Separuh Jiwanya

14.4K 1K 160
                                    

Bila ditanya, seberapa pentingkah Devan bagi Davin. Maka Davin akan menjawab bahwa Devan adalah denyut nadinya. Devan adalah oksigennya. Dengan kata lain, Davin tidak bisa hidup tanpa hal itu.

Davin tak bisa hidup tanpa adanya Devan.

Ini sudah dua minggu Devan menutup matanya di rumah sakit. Davin sungguh kehilangan sepraruh jiwanya. Walau ia sudah kembali bersekolah dan menjalani kehidupan sehari-harinya, tetap saja ia merasa hampa. Tapi kabar baik menghampirinya.

Dua hari lalu, Devan sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa karena ia sudah melewati masa koma. Betapa senangnya Davin, Bunda, Ayah, dan juga Mas Dafa mendengar kabar tersebut. Kondisi Devan perlahan sudah mulai stabil. Tapi, sampai sekarang Devan belum mau membuka matanya.

"Dimakan, Vin. Lo mau bekal lo dihabisin sama Si tukang palak makanan alias Leon?"

Suara ramah Rafi membuyarkan lamunan Davin. Ia mengerjap beberapa kali dan menatap teman-temannya. Lalu mengangguk. Sementara Leon melirik sinis teman dari SMPnya itu. Tampaknya ia tersinggung ketika Rafi memberinya julukan 'Si tukang palak makanan'.

Di tempat itu, tampaknya sedikit berbeda dari biasanya. Karena Sena bergabung dengan mereka bertiga. Sejak peristiwa itu, Sena terus mendekati Davin. Davin pun tidak menolak. Ia juga mengajak Leon dan Rafi untuk menerima Sena sebagai temannya.

Semenjak Vicktor—Papa Sena—yang mencekalai Devan dan Davin di gedung tua hari itu, berita tersebut langsung menggemparkan SMA Bina Siswa dan tersebar kemana-mana. Dan yaa... Banyak yang membenci Sena atas peristiwa itu. Sena pun dijauhi teman-temannya. Ia dipandang rendah oleh semuanya.

Awalnya Leon menolak keras kehadiran Sena. Hanya Leon. Ya, karena Rafi tipe orang pemaaf dan dari yang ia lihat, Sena merupakan orang baik yang tertutupi oleh perilaku urakannya, meski ia belum tau alasan mengapa Sena melakukan hal itu. Rafi dapat melihat tatap tulus Sena yang saat itu berkata, "gue nggak minta kalian percaya sama gue. Gue akan buktikan ke kalian sampai lo berdua percayai gue dengan sendirinya."

Dan benar saja, baru beberapa hari Leon bisa luluh. Kalimat yang Sena ucapkan pun terbukti.

Leon menatap nanar Davin yang sangat kehilangan arah. Davin selalu melamun di kelas. Davin tak pernah tertawa dengan lawakan recehnya. Ia tahu, Davin masih belum bisa terlepas dari bayang-bayang sang kembarannya yang masih betah dalam pejamnya.

"Nanti gue mau ada sparring basket sama SMA Garuda. Kalian mau nonton kehebatan gue nggak?" tanya Sena dengan nada sombongnya.

"Idih kehebatan! Sombong banget lo!" balas Leon ketus.

Sena terkekeh pelan. Lalu mengangkat dua jarinya kepada mereka. Seakan mengibarkan bendera kedamaian.

"Tapi sorry, Sen. Gue diajak Mama ke rumah Kakek gue setelah pulang sekolah nanti," balas Leon setelah kunyahan bakso itu masuk ke dalam kerongkongan.

"Kalau gue pulang sekolah nanti mau kerkel Bahasa Indonesia yang wawancara," sahut Rafi. Ia menjauhkan mangkuk bergambar ayam jago yang menyisakan sedikit kuah itu. Lalu menyesap es jeruknya.

Alis Sena dan Leon menyatu. "Bukannya tugas itu masih dua minggu lagi ya?"

Rafi mengangguk. "Entahlah, kelompok gue anak ambis semua. Pengin cepat selesai katanya. Gue mah ikut aja," jawab Rafi.

Lalu meja itu kembali hening. Hanya terdengar suara teriakan murid yang minta dilayani oleh pedagang kantin.

"Vin?"

Davin hanya mengaduk bekalnya tanpa minat. Entah apa yang ia pikirkan. Tapi yang mereka tahu, pasti Davin sedang memikirkan Devan.

"Davino!" sentak Leon.

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang