20|Aku Iri

8.1K 825 68
                                    

"Kamu lagian ada-ada aja sih, Kak." omel Bunda. Ia usap dengan pelan dahi Davin.

Ardi dan Fani baru saja sampai pagi menjelang siang tadi. Fani dengan jiwa keibuannya pun terkejut melihat salah satu anak kembarnya pulang dengan dahi memar.

Sebetulnya ia tidak tega juga mengomeli Davin yang berwajah pucat seperti ini. Tapi mendengar alasan kenapa dahinya berubah warna gitu membuat Fani kesal.

"Aku tadi meleng, Bun." Kata Davin. Jelas ia berbohong. Davin tidak bilang bahwa ia terkena bola yang dilemparkan teman sekelasnya. Davin dengan kebodohannya berkata bahwa ia menabrak dinding. Bodoh banget kan? Sepertinya jeniusnya Davin sedang hilang.

Ah, tidak. Lebih bodohnya lagi, kedua orang tuanya itu percaya sama apa yang ia ucapkan. Apakah mereka tidak curiga anak jenius ini tiba-tiba meleng menabrak dinding?

Di sana Devan hanya terdiam. Ingin sekali mulut embernya membocorkan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, Davin selalu mencegahnya.

Yang Devan lakukan hanya melihat seragamnya yang lusuh dan kotor, karena ia menghajar Sena di gudang sekolah tadi. Untung saja, Davin tertidur nyenyak di ruang kesehatan. Jadi, dia tidak tahu apa yang Devan lakukan tadi.

"Kamu beneran udah baik-baik aja kan, Vin? Mau ke rumah sakit nggak? Itu ngeri banget loh lihatnya. Ayah sampe takut." kata Ardi. Kentara sekali bahwa ia mencemaskan putranya.

Laknat sekali Davin itu. Ia menyambut kepulangan orang tuanya dengan kecemasan.

"Apaan sih, Yah. Nggak usah lebay gitu." Davin melepas tangan kekar Ardi. Ia menggerakkan kepalanya sampai poninya menutupi dahi yang kini menjadi artis dadakan karena disorot oleh keluarganya.

Di sana Dafa hanya menyimak. Ia sama sekali tidak membuka suara. Namun, tatap matanya tak juga teralihkan dari adiknya yang bernama Davin.

"Udah deh, nggak usah pada lebay. Aku nggak apa-apa kok," ujar Davin menenangkan. Ia berdiri kemudian. "Ayo, Dek, ke kamar."

Devan mengangguk. Ia mengikuti Davin melangkah menuju lantai atas.

Devan berjalan di belakangnya. Pergerakan lambat Davin, membuatnya berjalan terakhir. Berjaga-jaga semisal—

"Sshh ..."

—semisal Davin terjatuh.

"Batu banget lo!" ujar Devan kesal bercampur khawatir. Untung saja pergerakannya refleks menangkap tubuh Davin. Kalau tidak, mungkin Davin sudah terjatuh menggelinding di tangga.

Ia memapah Davin menuju kamarnya. Mereka sudah hampir di puncak, jadi orang-orang tadi yang berada di ruang keluarga tidak bisa mendengarnya.

"Mau gue teriak biar ngasih tau kalau lo mau gelinding di tangga?" Geram Devan saat ia sampai di kamar sang kakak.

"Diem deh, Van!"

Devan tak menjawab. Lelaki itu melepas tas yang masih digendong Davin. Ia letakkan rapi di atas meja belajar. Davin pun menidurkan tubuhnya. Duduk saja rasanya ia sedang menaiki komedi putar.Devan juga melepaskan kaos kaki yang masih melekat di kaki Davin.

Ia berjalan mendekati Davin yang kini memejam dengan alis hampir menyatu. Sangat jelas kalau orang itu menahan sakit.

"Kepala lo sakit lagi ya, Kak?"

Davin membuka matanya perlahan. "Iya anjir, pdahal tadi udah enggak."

Devan semakin gelisah mendengar penuturan Davin. "Fix, gue harus bilang ke Ayah kalau gini."

Devan ingin beranjak, tapi tangannya ditahan oleh Davin. Dapat Devan lihat gelengan kepala dari orang itu.

"Gue cuma butuh lo di sini. Jangan kemana-mana."

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang