13|Imperfect

8.3K 839 43
                                    

Devan sedang berada di kamarnya seorang diri. Weekend seperti ini biasanya ia habiskan untuk bermalas-malasan di kamar.

Bahkan saat hari sudah mulai panas, ia belum ada niatan untuk beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Jam enam pagi tadi, Davin mengajaknya untuk lari pagi bersama rekan osisnya untuk berjualan susu kedelai dam yoghurt dagangan temannya. Biasa cari dana. Tapi, Davin sepertinya lelah sendiri membangunkan orang kebo macam Devan. Jadi, ia tinggal saja adiknya itu.

Devan mengambil laptopnya di meja belajar. Ia bawa benda itu menuju kasurnya. Sepertinya menonton film mampu membunuh rasa bosannya. Juga melupakan sejenak masalahnya.

Mengingat kejadian semalam, Devan menghampiri Davin di kamarnya pada tengah malam. Ternyata Davin belum juga terlelap. Ia terkejut melihat Devan yang datang.

Devan datang dan meminta maaf kepadanya karena sudah tidak mengacuhkan Davin. Davin kala itu menggeleng, ia merasa Devan sama sekali tidak bersalah. Justru ia senang, karena Devan sudah membuka diri.

Lalu, Devan meminta izin untuk tidur bersama. Namun, Davin menolaknya. Ia tidak mau lagi jatuh ke ubin karena tendangan maut Devan. Makanya, setelah itu Devan kembali ke kamarnya.

Devan tertawa lepas ketika ada scene yang menurutnya lucu. "Tolol banget lah, anjrit!"

Tak lama setelahnya ia mendengar suara ketukan pintu. "Masuk aja, nggak dikunci." Devan mempause filmnya. Ia melihat Dafa berdiri di pintu.

Devan pun merubah posisinya menjadi duduk. "Eh, kenapa Mas?"

"Kirain Davin di sini. Kemana dia?"

"Davin kan lagi CFD sama temen-temen osisnya sekalian jualan. Buat cari dana katanya." jelas Devan.

Dafa menganggukkan kepalanya paham. "Belum pulang?"

"Belum kayaknya. Aku juga kan dari tadi cuma di kamar." jawab Devan yang disambung dengan kekehan.

Dafa baru akan pergi. Tetapi, Devan kembali bersuara. "Emang kenapa Mas cari Kak Davin?"

"Mas mau ajak dia keluar."

Devan terbungkam. Ingin sekali ia menawarkan diri, tetapi ia sadar. Dafa mana mau pergi berdua bersamanya.

"Ya udah, Mas tutup lagi ya?"

"Ah? Iya Mas."

Devan termenung setelahnya. Film yang tersisa dua puluh menit lagi itu ia abaikan. Moodnya hilang seketika.

Devan membaringkan tubuhnya. Ia menatap langit kamarnya seraya berpikir. "Kenapa ya orang-orang pada nggak suka sama gue?" gumam Devan. Ia bertanya kepada dirinya sendiri.

"Keluarga besar gue pada nggak suka. Ah, jangankan keluarga besar, Kakak pertama sama Ayah sendiri juga keliatan nggak suka sama gue."

Devan sadar betul. Membandingkan dirinya dengan Davin atau Dafa memanglah jauh. Kedua kakaknya itu berprestasi dimana-mana. Sedangkan dirinya? Ah, payah sekali.

Piala kemenangan olimpiade yang dimenangkan Davin sudah menumpuk di lemari. Piala kakak sulungnya juga terhitung banyak.

Sedangkan dirinya? Devan hanya ahli di bidang musik. Memang apa yang harus dibanggakan dari piala memenangkan kontes bernyanyi?

Suara dentingan singkat menyapa indra pendengaran Devan. Ia mengambil ponselnya yang tak jauh dari jangkauannya.

Davin(a) brother
Lo mau jajan sesuatu nggak? Gue mau pulang nih.

Tanpa sadar, Devan tersenyum. Segera saja ia mengetikkan sesuatu di sana.

Anda
Mau es krim

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang