14|Tumbang

12.9K 894 10
                                    

Pagi ini, Davin sudah bersiap untuk berangkat ke sekolahnya. Ia tidak mau sampai terlambat. Atau ia berada di barisan tersendiri ketika pelaksanaan upacara bendera nanti.

Davin memasang dasi abu-abunya pada kerah seragam. Ia melirik jam di dinding. Sudah jam enam, tapi ia merasa Devan belum keluar dari kamarnya.

Maka, setelahnya Davin menghampiri adik kembarnya. Pemuda itu menghela napasnya melihat Devan masih tidur dengan selimut membungkus tubuhnya.

Biasanya sang bunda yang membangunkan anak-anaknya, tapi baru saja bundanya itu pergi bersama ayah keluar kota karena urusan pekerjaan.

"Devan! Bangun woy!"

Tidak ada respon. Davin pun menyibak selimut tersebut. Ia tersentak melihat Devan berwajah pucat dengan keringat membanjiri wajahnya. Napasnya terdengar berat.

"Hey? Van? Lo kenapa?" Davin bertanya panik.

Devan membuka matanya perlahan. "Kak ..." Suaranya begitu lirih.

Davin menelan salivanya ketika menyentuh kening Devan. Panas.

Devan mengubah posisinya menjadi duduk, walau rasa pusingnya semakin ia rasakan. Ia melihat raut cemas Davin yang ditujukan kepadanya.

"Lo kenapa bisa begini?"

Devan menggeleng pelan. "Gue nggak apa-apa, Kak." jawabnya. "Oh iya, Bunda kemana? Gue sampe kesiangan nggak dibangunin."

Davin terkejut saat pertanyaan itu keluar dari mulu adiknya. Ia kira Devan sudah tahu. "Bunda sama Ayah pergi ke Surabaya selama beberapa hari ke depan. Urusan kantor."

Devan terdiam setelahnya. Setidak penting itukah dirinya di rumah ini sampai tidak ada yang memberi tahukannya?

"Lo mau kemana?" Davin bertanya ketika Devan beranjak. Meski langkahnya tertatih, ia tetap berjalan menuju kamar mandi. Sekaligus menjawab pertanyaan Davin.

Devan harus masuk sekolah. Ia sudah berjanji pada Ayahnya akan rajin belajar. Devan tidak boleh malas-malasan atau nanti nilainya akan turun. Ia tidak boleh mengecewakan Ayah.

Davin sebenarnya ingin menyuruh Devan istirahat saja di rumah. Tapi, tidak ada orang di rumah ini. Kedua orang tuanya sedang pergi. Sedangkan Dafa sedang menginap di rumah temannya.

Davin berjalan menuju meja belajar  Devan. Ia memasukkan buku-buku pelajaran jadwal hari ini. Lalu, ia beralih menyiapkan seragam untuk adiknya. Mulai dari atasan, celana, dasi, ikat pinggang, dan topi.

Setelah itu, Davin buru-buru turun ke bawah. Menyiapkan sarapan sederhana. Roti dengan selai cokelat dan susu sepertinya cukup. Setidaknya perut mereka terisi.

Tak lama kemudian, Devan yang sudah rapi menuruni tangga. Ia berjalan menghampiri Davin.

"Nanti gue izinin lo nggak ikut upacara dulu. Lo langsung ke UKS aja." ujar Devan.

Devan tidak menjawab. Ia memakan roti cokelat itu tanpa nafsu. Baru dua gigitan, Devan meletakannya kembali ke piring.

Sejak kemarin tidak ada makanan berat yang masuk ke dalam mulutnya. Saat ia pulang dari rumah Leon pun, Devan langsung pergi ke kamarnya dan tidur. Malam itu rasanya sangat lelah, makanya ia pergi menyelami mimpi.

"Dek ..."

"Kak, gue mual. Kalau gue paksain nanti malah muntah." jelas Devan dengan suara serak.

Davin jadi pusing sendiri. Ia harus apa? Inginnya Devan beristirahat dulu di rumah, tetapi tidak ada yang menjaganya. Kalau nanti anak itu membutuhkan bantuan bagaimana?

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang