Pintu itu terbuka, menampilkan sosok kepala keluarga dan anak lelaki dewasa dengan raut tak terbaca. Antara cemas dan bahagia. Mereka segera menghampiri Davin di ranjangnya.
Sontak, Devan memundurkan dirinya dengan kepala menunduk. Bahkan ia hampir terjatuh karena tersandung kakinya sendiri.
"Davino ... Kamu buat orang-orang khawatir aja." Ayah berujar sembari mengelus puncak kepala Davin.
"Mas panik banget loh pas dengar di sekolahmu ada tawuran. Dan kamu salah satu korban luka-luka." tambah Dafa.
"Apaan sih? Lebay banget." kata Davin acuh. Ia menurunkan tangan Ardi dari kepalanya. Mungkin Ardi tidak sadar jika ia menyentuh lukanya yang kata Bundanya sempat dijahit.
Davin menatap malas dua orang lelaki di hadapannya. Seakan yang Ardi dan Dafa lakukan itu sangat berlebihan.
"Bunda sama Devan keluar dulu kalau gitu."
Fani menarik tangan Devan menjauhi mereka. Devan yang tersadar pun segera melepaskan tarikannya seraya meringis kecil. Cengkeraman bunda mengenai 'ukiran indah' pada pergelangan tangannya sebelah kiri.
Fani pun menoleh kepada anaknya heran. Lantas Devan tersenyum. "Ayo, Bunda."
Jangan sampai ada yang tahu kalau ia seringkali melukai pergelangan tangannya, sebagai pengalihan masalah yang datang kepadanya tanpa henti.
Hanya boleh Devan yang tahu.
<<<>>>
"Kamu mau apel nggak?"
"Nggak."
"Kamu haus nggak?"
"Nggak."
"Kamu lapar, Vin?"
"Nggak."
"Kamu—"
Davin menggeram kesal. "Cukup! Aku lagi nggak pengin apa-apa. Jadi, jangan tanya-tanya aku!"
Bagaimana tidak kesal jika Ardi dan Dafa menanyainya ini itu secara bergantian. Padahal Davin sudah berulang kali menolak. Ia hanya ingin menonton FTV malam di layar televisi.
Davin bisa mendengar suara helaan napas dari kedua orang ini. Ya ampun, kenapa bapak dan anak ini sangat kompak?
Davin teringat sesuatu. Ia pun mengalihkan fokusnya dari televisi yang sedang terjadi scene kejar-kejaran.
"Mas bukannya mau balik ke Bandung?"
"Besok, Vin. Pagi-pagi." jawab Dafa dengan senyum di bibirnya.
Alis Davin tertaut. "Terus kenapa sekarang masih di sini?" Davin bertanya kembali.
"Iya tuh. Harusnya kamu pulang aja sekarang, Mas. Biar besok nggak kesiangan. Nanti kamu capek yang ada." tambah Ardi yang sedang memeriksa laju tetesan infus Davin.
Dafa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya yang telah menunjukkan pukul 22.30 Waktu Indonesia Barat. Ia pun mengembuskan napasnya. "Iya deh, Mas pulang."
Tak lama setelah itu datanglah Fani dan Devan dengan wajah cerah. Wajar saja, cacing-cacing di perut mereka baru saja disumpal oleh makanan kantin rumah sakit.
"Eh, kok pada berdiri begini? Kalian mau kemana?" Fani bertanya setelah ia meredakan tawanya karena lawakan receh yang Devan lontarkan tadi.
"Pulang, Bunda. Bunda sama Devan juga pulang aja. Istirahat di rumah." Bukannya Dafa atau Ardi yang menjawab, melainkan Davin.
Ia hanya tidak mau mengganggu waktu istirahat keluarganya. Harusnya mereka sudah menyelami mimpi pada jam segini.
"Oh, kalau begitu bareng aja sama Devan. Biar Bunda tidur di sini sekalian jagain Davin." usul Fani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...