12|Merasa Tidak Berguna

8.5K 902 44
                                    

Siang ini, keadaan ruang tengah lebih ramai daripada biasanya. Anak-anak kini sedang seru menyaksikan acara televisi yang memperlihatkan si kembar botak yang tidak lulus-lulus dari Tadika Mesra.

Anak yang tadi menangis kencang kini sudah tertawa lagi. Naufal. Anak itu sama sekali tidak menyalahkan Devan ataupun Davin. Menurutnya batu yang membuatnya tersandung, dia yang bersalah. Siapa suruh menaruh batu di situ? Membuat orang terjatuh saja.

Davin pun sama. Ia seperti sudah melupakan kejadian tadi. Kini anak itu sudah kembali bercanda dengan Keyla dan Naufal. Sesekali Dafa menimpali.

Sedangkan Devan hanya menyimak. Entahlah, rasanya tidak semudah itu melupakan kejadian tadi, dimana Adli menyalahkannya sehingga bermain tangan. Sampai akhirnya Davin melindunginya dan membelanya.

Oh jangan lupa di ruangan luas itu juga terdapat kehadiran Bapak-bapak pula. Ardi dan Adli. Meskipun kedua orang itu memiliki perbincangannya sendiri. Mereka mengawasi putra-putrinya dari kejauhan. Sedangkan Fani dan Ghina—istri Adli—sibuk memasak di dapur. Menyiapkan hidangan makan siang.

"Kakak kembar berarti sama kayak Upin Ipin dong."

"Bedalah. Kakak kembar kan nggak botak." Davin membantah ucapan polos Naufal.

"Tapi kan mukanya sama. Yang bedain kalau Upin Ipin, rambutnya. Kalau kakak kembar tompelnya."

Kalimat itu lancar diucapkan oleh Keyla. Semua pun tertawa mendengarnya. Davin menoleh ke arah Devan yang duduk menyendiri agak jauh darinya. Biasanya kalau Keyla mencela dirinya dengan bawa-bawa tompel, Devan akan membantah keras.

Davin menghela napasnya, ia menjauhi kerumunan itu. Lalu mendekat kepada adiknya. "Kenapa sih bengong aja? Udah nggak usah dipikirin yang tadi."

Rangkulan Davin pada bahunya membuat lamunan Devan buyar. Ia melihat Davin tersenyum ke arahnya. "Eh, Kak?"

"Lo mikirin apa sih?"

"Hah? Enggak, nggak mikir apa-apa." jawab Devan. Walau ia tahu, pasti Davin tidak akan mempercayainya.

"Lo pikir gue bego?"

"Gue nggak bilang lo bego ya." balas Devan. Ia melepas rangkulan Davin.

Davin menghela napasnya. "Ya udah jangan mojok. Sini gabung." ajak Davin.

Devan menimang-nimang ajakan Davin. Hingga akhirnya ia mengangguk dan tersenyum kepada Davin. Ia tidak boleh terus-terusan begini.

"Hey? Kalian tadi pada ngomongin aku ya?" Dengan pedenya Devan berkata seperti itu ketika sudah duduk bersama di kerumunan itu.

"Ih Kak Epan kepedean." sahut Naufal. Meskipun kening dan lututnya terdapat plester untuk mengcover lukanya, ia tetap berkata sewot. Anak itu sama sekali tidak berpikiran bahwa Devan maupun Davin bersalah. Tidak. Sekali lagi, ia menyalahkan batu yang tergeletak.

"Eh, Naufal gitu ya? Nanti nggak Kakak beliin kinderjoy nih." ancam Devan.

"Ya udah nanti aku minta beli Mas Dafa atau nggak Kak Apin." balasnya.

Setelah itu mereka kembali melanjutkan perbincangan ringan. Sesekali mereka tertawa karena lawakan Devan yang terlampau lucu.

Hingga tak lama kemudian, macan alias mama cantik memanggil mereka untuk melakukan makan siang bersama. Aroma masakan yang dimasak oleh Fani dan Ghina sudah masuk ke dalam indra penciuman mereka.

Davin terus memperhatikan adiknya yang sudah bisa diajak bercanda. Ia hanya tidak ingin Devan repot-repot memikirkan hal tadi, yang menurutnya sangat tidak penting. Davin tahu senyumnya, tawanya, candanya yang dilontarkan Devan hanya untuk pengalihan saja.

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang