08|Perkelahian

8.1K 842 7
                                    

Leon memperhatikan sahabatnya. Matanya terus tertuju pada Devan. Bagiamana tidak? Kakak kembarnya memberi amanat untuk terus mengawasi Devan. Huh, memang dirinya bodyguard apa? Berani bayar berapa Davin?

Tapi, sebenarnya ada setitik rasa cemas yang Leon rasakan. Kenapa? Karena tadi Davin berkata bahwa Devan sempat kambuh. Dan kini orang itu sudah kelayapan.

"Lo kenapa sih, Le? Suka sama gue? Negliatnya begitu banget. Salting gue nih." kalimat yang diluncurkan Devan membuat Leon mengerjap.

Leon dengan senang hati memukul kepala Devan. "Gue normal anjir! Masih suka betina."

Leon meletakkan helmnya di spion kanan. Setelah itu ia beranjak meninggalkan area parkir.

"Terus lo kenapa?" tanya Devan.

Leon tak menanggapi. Ia tetap berjalan lurus ke depan tanpa mempedulikan Devan. Sepertinya mereka sudah telat.

Devan berdecak pelan. Ia paling benci dikacangi. Dan barusan apa? Leon tidak menjawab pertanyaannya.

"Le ..."

"Nggak usah bacot! Kita udah telat tau! Padahal gue jarang-jarang telat begini. Gara-gara jemput lo dulu sih anjir!" ujar Leon kesal.

"Ya maaf."

Setelah mengatakan itu, Devan membungkam mulutnya. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi.

Mereka terus berjalan santai, hingga akhirnya berhenti pada studio yang dipakai untuk latihan rutinnya.

"Hello, guys!" Devan menyapa ramah temannya yang berada di sana.

Begitu pula Leon. Secepatnya ia mengubah raut wajahnya seperti biasa.

"Tumben telat?" tanya Erlan.

"Sorry ya, gara-gara Leon jemput gue dulu, makanya telat. Ini salah gue kok." Devan menjawab.

Leon hanya diam. Sesekali ia melirik Devan. Leon pun mengambil gitar dan bersiap di posisinya.

"Ya udah kuy mulai!"

<<<>>>

21.35

Devan membuka pintu utama rumahnya. Ia menapaki lantai marmer rumahnya yang terasa dingin.

"Dari mana kamu?" Tiba-tiba Ardi datang.

Devan sedikit terkejut sehingga ia memundurkan langkahnya. "Eh, ayah. Assalamualaikum." Devan berkata ramah seperti tidak terjadi apa-apa.

"Ayah tanya lho. Kamu abis dari mana?"

Devan menciumi punggung tangan kekar itu terlebih dahulu. Setelahnya ia menatap wajah datar Ardi. "Hmm, biasa, Yah." jawab Devan.

Ardi mengembuskan napasnya. "Kok lama sampai jam segini?"

Devan terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan terbata. "A-ah soalnya tadi—iya tadi aku sama teman-teman agak telat. Makanya, pulangnya juga telat."

Yang terjadi sebenarnya ialah, Devan menambah waktu satu jam lagi. Benar mereka telat, tapi hanya sepuluh menit.

Awalnya teman-temannya menolak. Tapi, Devan memaksa dan berkata ia yang membayar. Mau tak mau teman-temannya menyetujui.

"Dari pada buang-buang waktu begitu mending kamu belajar yang benar." Terdapat nada penekanan yang Ardi ucapkan.

Selalu saja Ardi menyebutnya buang-buang waktu. Padahal ia hanya menyalurkan hobinya. Lagi pun, itu termasuk kegiatan positif bukan? Kenapa Ayahnya selalu menganggap itu hanya membuang-buang waktu?

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang