"Devano!"
Suara itu menginterupsi Devan dan Sena. Keduanya menoleh dan mendapati seseorang yang baru saja diikutsertakan dalam perbincangan. Diikuti dua orang lainnya.
Devan pun menurunkan tangannya yang sudah melayang di udara. Ia menatap wajah yang serupa itu mendekatinya.
"Wah, bakal ada drama nih." gumam Sena terdengar sinis melihat Davin mendekat.
"Nggak usah berantem. Ini di sekolah. Masih pagi juga. Nggak usah cari gara-gara." Davin berkata galak. Setelahnya ia meringis sendiri melihat pipi kembarannya terlihat lebam.
"Iya Kak, maaf" jawab Devan patuh.
Davin menghela napasnya. Ia beralih ke Sena. "Dan lo!" Tangannya terangkat untuk menunjuk kepada orang itu. "Segabut itu hidup lo buat gangguin gue sama adek gue? Kurang kerjaan lo?!" Suaranya meninggi, membuat siapa saja yang mendengarnya kertakutan.
Namun tidak bagi Sena. Orang itu justru terkekeh, seakan ucapan Davin barusan hanyalah bisikan setan. "Uuhh, atut."
Davin baru akan menyela, tapi Rafi dan Leon mencegahnya. "Udah, Vin. Biarin aja. Udah mau bel."
"Iya, betul. Ngapain juga gue ngurusin bocah bayi kayak dia," ujar Davin remeh.
"Apa lo bilang?!" Sena bertanya emosi mendengar ia dipanggil 'bocah bayi'.
"Ke kelas aja, kuy! Nanti juga ketemu lagi sama dia."
Davin berlalu dengan menarik tangan Devan. Ingin melepas, tapi tenaga Davin tidak main-main.
"Si produk bayi kayaknya bakal bolos deh." kata Leon.
Di kelas mereka, Sena memang cenderung tidak memiliki teman. Tapi sesungguhnya teman-temannya itu banyak sekali yang berasal dari kelas lain.
"Iya tuh, bener. Gila, kenapa dia bisa masuk kelas kita ya?" Rafi bertanya.
Kelas 12 IPA 1 memang kelas terbaik di angkatan. Murid di kelas itu memang tidak semuanya cerdas, namun mereka selalu menuruti perintah dan tidak banyak melanggar peraturan. Yang menjadi pertanyaan, kenapa orang blangsak seperti Sena bisa masuk ke dalam kelas itu? Padahal hampir setiap hari ia selalu bolos pelajaran.
"Ya elah zaman sekarang mah pakai orang dalem. Dia kan anaknya Bu Melan. Pasti ada campur tangan tuh." jawab Davin. Pertanyaan mudah sekali menurutnya.
Perlu diketahui. Ibunya Sena merupakan salah satu guru di SMA Bina Siswa. Guru sosiologi yang mengajar IPS. Tentu mereka semua yang memilih jurusan IPA tidak pernah diajarkan oleh guru yang katanya killer itu.
"Iya juga ya." Devan mengangguk menyetujui argumen Davin.
"Pipi lo masih sakit, Van?" Davin bertanya.
Langkah kaki Devan melambat. Ia menatap wajah serupa yang kini terlihat khawatir. "Gue kan laki. Begini doang mah, sans aja. Ntar juga ilang."
"Diapain aja lo tadi sama Si produk bayi?" Davin kembali bertanya yang sukses membuat Devan berpaling muka.
"Ya—gitu." jawab Devan malas.
Leon dan Rafi menyimak mode on. Mereka tahu saat ini waktunya kedua saudara itu berbicara. Membiarkan anak kembar itu saling memberi penjelasan.
"Jangan gampang kesulut, Van. Lo harus bisa kendaliin emosi lo. Walau nggak ada gue." Davin memberi nasihat. Ia hanya ingin Devan baik-baik saja.
"Gue begini juga gara-gara lo anjir, Kak," sungut Devan. "Ngambek lo itu serem. Makanya, tadi gue mau jaga jarak dulu sama lo. Terus gue ketemu si Lele. Kita mampir ke kantin beli air. Eh, malah ketemu itu orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...